Eleven

10 0 0
                                    

     Hidupku kembali hampa, Aruna akhirnya pergi untuk selama-lamanya. Mungkin ini karma untukku. Hari itu, pagi sekali Aruna kutemukan telah meninggalkanku dalam tidurnya. Sungguh aku sangat terpukul aku tak mampu berkata apapun hanya tangis penyesalan yang dapat kulakukan.
    "La, yang kuat ya. Aruna udah tenang disana" kalimat itu lagi, seharian hanya kalimat itu yang kudengar. Mereka tak pernah tau bagimana sakitnya aku menghadapi ini semua.
    "Ka, loe ngga sendiri. Gue lebih sakit, adek gue itu yang tadi pagi dimakamin. Mau ditaruh mana muka gue kalau nanti Mama sama Papa minta pertanggung jawaban gue" kata Kak Langit dengan suara yang amat pedih.
    "Kak, gue akan selalu ada buat Aruna. Gue akan ngerawat anak-anak panti sebisa gue" aku berkata dengan amat pelan.
    Semuanya telah berlalu, hari demi hari telah kulalui dengan kerinduan terhadap Aruna yang membabi buta. Meski aku sibuk bekerja dengan mengasuh dua orang anak laki-laki yang sungguh hebat kelakuannya, seluruh anak panti milik Aruna telah memiliki keluarga angkat masing-masing dan aku telah memastikan mereka bahagia.
    Dibawah cahya redup senja aku hanya mampu memandangi batu nisan milik Aruna di atas kursi roda, tubuh rentaku tak mampu lagi menahan beban tubuhku sendiri.
    "Yah, ayo kita kembali. Waktunya Ayah check up lo" kata putaku Danu.
    Aku hanya mampu mengangguk lemah. Aku sangat merindukan Aruna. Setiap doaku terselip namanya. Sosok cantik dan cerah Aruna tak pernah bisa tergantikan oleh siapapun. Saat ini, aku hanya ingin cepat menemui Aruna disana.
    Hanya gelang Aruna yang selalu kugenggam saat aku sangat merindukannya bahkan disaat ini. Gelang sederhana dengan bandul bunga matahari yang telah pudar. Gelang ini kuterima bersamaan dengan surat darinya. Jika boleh jujur, Aruna adalah Matahariku.

Sejenak Tentang Sang MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang