Aku diam seribu bahasa, dia pun mungkin paham karena dia juga ikut diam. Tak biasanya seorang Aruna Wimala jadi sangat diam. Ketika sampai di taman yang biasa kami kunjungi seperti biasa dia akan langsung membeli ice cream langganannya dan segera duduk disebelahku.
"Ada apa, Ka? Kamu mau ngomong sesuatu ya?" Tanyanya, yah sudah kuduga dia memang sangat peka.
"Sebelumnya, kumohon kamu maafin aku seikhlas-ikhlasnya. Meskipun, aku tau itu sulit. Dan kumohon, kamu harus tetap bersinar dengan terang setelah ini. Run, maaf kurasa kita tak bisa melanjutkan hubungan ini." Kataku terpotong sungguh hatiku tak kuasa melihat air mukanya yang berubah
"Kenapa Ka? Kamu ada masalah ya? Ayo kita bicarakan baik-baik. Kenapa kamu selalu mengakhiri segalanya seenakmu saja" ucapnya menahan tangis.
Aku menggeleng pelan "Maaf Run, kali ini kita tak bisa membicarakan apapun lagi. Aku sudah melamar seseorang. Aku sudah punya calon istri. Maaf Run, kukira kita bisa selamanya tapi ternyata Tuhan punya rahasia lain" Aruna hanya menatapku dengan tatapan kosong dan air matanya yang terus menerus menetes.
"Iya aku tahu segalanya Ka, tentang gadis manis itu tentang kamu dan tentang kita. Aku hanya menunggu waktu saat kamu berusaha mengungkapkan. Tak mengapa aku paham aku hanyalah lilin kecil tak berdaya yang bisa kamu padamkan kapan saja saat kamu sudah menemukan lenteramu sendiri. Kamu harus bahagia, kamu harus bahagia Kala Andhanu." Ucapnya terbata-bata.
"Sudah, kamu bergegaslah pergi. Dia sudah menunggumu disana. Urus segala keperluanmu. Aku hanya bisa mendoakanmu." Katanya sambil mendorongku menjauh, mau tak mau aku melangkah mulai pergi. Entah mengapa, hati kecilku sangat pedih rasanya aku ingin menangis kutengokkan kepalaku. Aruna bersimpuh lemas dan beberapa rintik air mata membasahi rok krem dan beberapa titik noda darah. Apa yang terjadi? Itu yang kupikirkan kala itu. Namun, dengan brengseknya aku tetap melangkah menjauhinya.
Dia pun menghilang layaknya ditelan bumi setelah itu. Aku tak lagi mendengar kabar tentangnya. Bahkan di acara pernikahanku ia tak terlihat. Aku sudah bertanya dari kurir yang mengantar undangan dan katanya telah diterima bahkan Aruna sempat tertawa ceria mendapatkan undangan itu.
Tak ada lagi, spam chat darinya yang mengingatkanku agar tak lupa makan. Tak ada yang rela mendatangi kosku dini hari ketika aku sakit. Tak ada yang meneleponku ratusan kali untuk membangunkanku saat kelas pagi. Jujur aku merindukan segala celoteh riangnya. Namun, kuyakinkan diriku untuk fokus dengan pernikahanku kala itu.