Ten

5 0 0
                                    

     Hingga akhirnya aku berani memohon bantuan Kala. Sungguh, aku tak punya pilihan lain, Bintang dan Danu sangat berarti bagiku. Beberapa bulan yang lalu, aku sudah mengurus berkas-berkas agar aku menjadi Ibu angkat bagi mereka kedua. Kukira kami bertiga akan bahagia bersama. Dan aku dapat menemani mereka hingga aku tua. Dan melihat pantiku memiliki lebih banyak anak. Dan aku mengurus segalanya bersama Bintang dan Danu.
    Namun, Semesta tak berpihak padaku. Dia telah menentukan batas waktuku dan aku merasakan hal itu akan segera terjadi. Jujur, hal ini sungguh menyiksaku. Bukan hanya sakit karena penyakit ini yang setiap waktu menggrogoti tubuhku dengan perlahan. Namun juga sakit karena menyadari bahwa waktuku sudah tak lama lagi. Aku akan meninggalkan Kak Langit sendirian. Aku akan pergi meninggalkan Bintang dan Danu. Dan tentu saja aku akan pergi jauh dari Kala.
     Malam setelah Kala pulang, aku mengambil sebuah buku diary milikku saat SMA sungguh  saat itu aku sangat bahagia dengan kehadiran Kala di hidupku.
    "Run, katamu kita akan bertemu Mama dan Papamu kok kita malah ke pemakaman sih?" Tanya Kala waktu itu
    "Ihh kamu diam aja deeeh Ka, jangan kebanyakan tanya mulu tampol niih" kataku dengan gregetan karena ini udah pertanyaan ke lima sejak kami masuk ke areal makam. Hingga akhirnya kami sampai di dua makam yang saling berdekatan. Iya, itu rumah terakhir Mama dan Papa.
    "Naah kita sampai Ka, ini tempat terakhir Mama dan Papa. Maaf ya malah ngajak kamu kesini. Mama sama Papaku udah meninggal Ka, waktu aku umur 7 tahun. Mereka meninggal karena kecelakaan, mereka lebih memilih menggunakan tubuhnya untuk melindungiku dan Kak Langit. Sejak saat itu, aku dan Kak Langit diasuh sama Nenek. Lalu Nenek pun meninggal satu tahun yang lalu." Ceritaku panjang kali lebar ke Kala. Kulihat Kala hanya diam membisa lalu tak lama dia berdoa.
    Setelah itu, Kala tak banyak bicara. Dia hanya memandangiku dari spion hingga membuatku salah tingkah sendiri. Sepanjang jalan dia sering sekali mengecekku lewat spion. Apa aku dikira setan ya sama dia waktu itu?
    "Run, tetap bersinar yaa. Jangan buat langit mendung lagi. Aku akan selalu menjaga kamu sampai kapanpun" tiba-tiba kala berkata seperti itu. Aku tak mengerti apa yang dia maksud, aku hanya menganggukkan kepalaku lalu berpamitan masuk ke rumah.
     Ingatanku berakhir di heningnya malam, Tuhan jika boleh aku ingin melihat senyum Kala untuk terakhir kalinya. Tuhan, semoga Kala tetap bersinar dan tak akan ada lagi awan yang mengelilingi kepalanya. Tuhan, Kala adalah matahariku.
    Setelah itu, seluruh tubuhku terasa ringan dan aku merasa di sebuah tempat asing. Hal pertama yang aku lihat adalah sosok Mama dan Papa serta sosok yang kukenali lewat sebuah foto 8 tahun yang lalu di smarthphone milik Kala, tak kusangka mereka menungguku dengan senyum. Baiklah Semesta, waktuku ternyata telah habis.

Sejenak Tentang Sang MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang