Two

15 4 0
                                    

     "Bun, bunda mau minum? Dari tadi diam aja, Om Kala ngajak ngobrol pun ngga Bunda jawab" Kata suara itu
     "Ngga lee, Bunda ngga haus. Kala, sudah waktunya anda pulang" Kataku
     "Aku mau pulang dan tidak adalah urusanku, Runa. Aku ingin menebus semua kesalahanku padamu, seperti yang kubilang kemarin." Sebuah suara kembali menjawabku, suara yang sangat kurindu selama ini.
     "Semuanya telah berlalu, Kala. Aku baik-baik saja. Kamu tak salah apapun disini." Kataku
      "Aruna Wimala, kumohon aku telah berhasil menemukanmu setelah kamu menghilang seperti ditelan bumi. Aku tak pernah bahagia, selepas kepergianmu. Rumah tanggaku tak berjalan mulus. Aku salah menuruti egoku, aku salah menuruti nafsuku. Selama ini aku merindukanmu, Runa." Katanya hingga menumpahkan air mata berharga itu. Duh, Kala jangan menangis. Hatiku yang tersakiti jika kamu menangis.
       "Aku sudah tak mungkin lagi bisa membalas apapun darimu, waktuku di dunia ini sudah habis. Kamu harus bahagia. Aku ingin istirahat, pulanglah" Kataku dengan suara bergetar menahan tangis. Segera kubalikkan tubuhku, agar dia tak bisa mengajakku berbicara lagi.
Aku bukan ingin tidur, aku hanya ingin Kala segera pulang. Sungguh hatiku tak kuasa jika ia terus berada disini.
        Selama itu juga aku terhanyut dalam segala pemikiran absurdku. Memoriku mengambil alih agar aku mengingat segala kenangan tentang Kala. Kala tak pernah berubah. Senyumannya, tingkahnya, suaranya bahkan mata sendunya.
     Andai, kejadian itu tak pernah terjadi. Mungkin, aku tidak akan tergeletak tak berdaya seperti ini. Terkadang, aku bertanya-tanya mengapa semesta begitu tega kepadaku?
Sayup-sayup, suara Kala kembali bergaung di telingaku. Suara Kala ketika mengucapkan kata-kata menyakitkan itu.
     'Run, maaf kurasa kita tak akan pernah berhasil dalam hubungan ini. Run, aku ini laki-laki yang tak pantas untukmu. Aku hanya perusuh dihidupmu. Aku telah menyukai orang lain. Maaf kurasa, kamu lebih baik pergi mencari yang lain.' Katanya 5 tahun lalu sembari pergi meninggalkanku.
     Setelah kepergiannya, hidupku hanya berteman dengan yang namanya gamang. Aku memutuskan untuk tak lagi mengenal sesuatu yang disebut cinta. Tak ada yang pernah bisa menggantikan sosok yang secerah matahari seperti Kala. Aku memutuskan hidup sendiri dengan membangun rumah bagi anak-anak yang hidupnya terlantar. Iya, aku menjadi ibu asuh bagi 25 anak-anak yatim dan terlantar. Rumah asuhku terbuka untuk siapapun. Ini kulakukan agar aku melupakan sosok Kala. Namun, kusadari aku tak pernah bergerak kemanapun. Kala, masih mengisi segala hariku. Ia tetap menjadi bagian pokok dari setiap doaku. Rasaku pun tak pernah menghilang dari kalbu.
     "Run, kamu kenapa sih kok betah banget bertahan sama Kala? Kala kan ngga konsisten, ini udah yang keberapa Kala ninggalin kamu? Udah berapa kali dia menghadirkan luka di hubungan kalian?" Tanya Nalani.
    "Entahlah, kamu boleh menilaiku bodoh. Namun, aku telah berjanji untuk selalu membuatnya tersenyum. Apa kamu tau? Kala itu secerah matahari. Aku tak ingin cahayanya redup lagi, Na." Kataku dengan berusaha tersenyum.
    "Kepalamu itu lebih keras dari batu manapun Run." Jawabnya dengan kesal.
    "Na, suatu saat kamu akan menemukan sesosok yang membuatmu bahagia hanya dengan melihatnya bahagia" Ucapku tak kalah keras kepala.

Sejenak Tentang Sang MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang