Malam hari yang dingin membuat Nara tidak nyaman dalam tidurnya, belum lagi kehamilannya yang sudah semakin membesar.
Nara membuka matanya saat ada seseorang yang mengetuk pintu kamar yang ia tempati, dengan kehamilan yang sudah memasuki usia enam bulan, Nara beranjak dari ranjang dengan kesusahan. Jika Tania atau Thomas yang datang mungkin mereka akan langsung masuk, dan tidak mengetuk pintu terlebih dahulu.
Saat Nara membuka pintu, pelayan baru yang bernama Jihan langsung masuk dan membekap mulut Nara. Tapi setelah menutup pintu, Jihan melepaskan bekapannya.
"M-maaf saya mengagetkan anda," bisik Jihan
"Ada apa ini Jihan?" Tanya Nara sedikit panik.
Jihan mengambil sesuatu dari kantong celana, dan menyodorkannya pada Nara.
"Cepat pakai ini untuk menghubungi keluarga kamu, saya tidak punya banyak waktu," ujar Jihan masih dengan bisikan nya.
Nara menatap ponsel yang baru saja Jihan sodorkan padanya, Nara tidak hafal nomor siapapun, kecuali nomor Brian yang sering Nara ingat. Nara tidak yakin kalau Brian akan mengangkat panggilan dari nomor yang tidak dikenal, tapi Nara akan mencobanya dan semoga berhasil.
Dengan tangan gemetar, Nara mengetik nomor ponsel Brian yang sudah Nara hafal di luar kepala, Nara sangat senang saat nomor ponsel Brian aktif. Tapi Nara sudah mencoba beberapa kali menghubunginya, Brian sama sekali tidak mengangkat panggilan darinya, disitu Nara merasa putus asa karena harapan satu-satunya lenyap.
"Bagaimana?" Tanya Jihan.
"Tidak diangkat," lirih Nara.
"Coba kamu mengirim pesan padanya, itu pasti akan dia baca!" Seru Jihan.
Nara langsung mengirimkan pesan pada Brian, dan memberitahunya kalau Nara saat ini sedang tidak baik-baik saja. Nara mengetik dengan terburu-buru, dan sampai akhirnya Nara berhasil mengirimkan pesan untuk Brian.
Tapi saat Nara ingin mengembalikan ponsel itu pada Jihan, tiba-tiba saja tubuh Jihan terlempar, dan membentur tembok kamar dengan sangat keras. Nara tidak percaya melihat kejadian yang begitu cepat di depan matanya, Nara mengalihkan pandangannya ke arah orang yang dengan teganya melakukan itu.
"Rupanya ada tikus kecil yang masuk kandang harimau!" Seru Thomas seraya menatap tubuh Jihan yang sudah tidak berdaya.
Sedangkan Nara berjalan mundur ketakutan, saat melihat wajah Thomas yang menyeramkan, dan Nara menangis karena merasa bersalah pada Jihan.
Tatapan tajam Thomas beralih pada Nara, dengan langkah lebarnya Thomas mendekati Nara, dan menamparnya dengan sangat keras.
"Wanita sialan! Apa yang kamu lakukan?! Berniat ingin kabur dari sini? Jawab?!" Ujar Thomas dengan nada membentaknya.
Nara menggelengkan kepalanya mencoba untuk membela diri, Nara meringis saat Thomas mencengkeram rahangnya dengan kasar.
"Jangan macam-macam! Jika bukan karena saya ingin bayi yang ada di dalam kandunganmu, saya sudah membunuhnya sejak dulu!"
Setelah Thomas mengatakan kata-kata yang menyakiti hati Nara itu, dia pergi meninggalkan kamar yang Nara tempati, dengan cepat Nara mendekati Jihan yang masih sedikit sadar.
"Jihan maafkan aku, aku sudah membuat mu seperti ini," ucap Nara dengan isakannya.
"Tidak masalah, semoga kamu cepat bertemu dengan keluargamu. Dan semoga kamu melahirkan dengan selamat," lirih Jihan, dan setelahnya wanita itu tidak sadarkan diri.
Ada apa dengan dirinya ini? Kenapa orang yang dekat dengannya selalu saja celaka, Nara tidak bisa terus seperti ini. Setelah beberapa menit, anak buah Thomas masuk ke dalam kamar, dan membawa Jihan pergi, Nara berharap Jihan akan baik-baik saja.
Saat ingin menaiki ranjang, Nara ingat sesuatu. Nara mencari ponsel milik Jihan, yang sempat ia sembunyikan saat Thomas masuk tadi, dan Nara bisa menemukan ponsel itu di bawah ranjang yang ia tiduri.
Ada sedikit lega saat melihat ponselnya yang masih bisa menyala cukup lama, Nara akan mencoba menghubungi Brian nanti. Mungkin sekarang Brian sedang istirahat, dan sedang lelah, jadi tidak mendengar suara panggilan masuk.
Dengan mata yang masih terbuka Nara merasakan perutnya sangat lapar, semakin usia kehamilannya bertambah. Nara semakin membutuhkan makanan yang banyak, tapi sayangnya Nara hanya diberi makan satu kali sehari.
"Lapar nya ditahan ya sayang, besok kita makan kok." Ucap Nara sedih.
Demi meredam rasa laparnya, Nara memutuskan untuk kembali tidur.
***
"Kalo lo kayak gini terus, gue jamin Nara gak bakal mau balik lagi sama lo!" Teriak Marko di telinga Brian yang sudah sangat mabuk.
Marko, Jack, dan Jeremy hanya menemani Brian malam ini di rumahnya, penyebab Brian seperti ini adalah, dia sudah putus asa saat tidak menemukan keberadaan Nara.
"Brian sering kayak gini?" Tanya Jeremy yang baru melihat sahabatnya segila ini.
"Iya, sebenernya gue gak tega liatnya, tapi keberadaan istri Brian benar-benar susah dicari. Orang yang menyekap Nara kali ini pasti orang hebat," ujar Marko.
"Gue akan coba buat bantu cari istri Brian lewat bokap gue, gue gak tega liat Brian yang kayak gini," ucap Jeremy yang akhirnya membantu Brian.
Willy Anderson, siapa yang tidak mengenal pimpinan mafia kelas kakap itu. Ayah dari Jeremy Anderson seorang dokter yang sangat cerdas, Jeremy akan meminta bantuan ayahnya untuk mencari tahu keberadaan istri sahabatnya. Jeremy tidak ingin salah satu dari sahabatnya ada yang menderita, bahkan sampai hampir gila seperti Brian sekarang ini.
"Hah! Gue heran sama Brian, bukannya berjuang mencari istrinya ini malah mabuk-mabukan. Kayaknya sebentar lagi sahabat kita ini bakalan gila beneran deh," celetuk Jack.
Jeremy memukul kepala Jack dengan gemas, meskipun ucapan Jack ada benarnya juga, tapi Jeremy yakin Brian akan baik-baik saja. Brian tidak akan gila, karena cepat atau lambat Nara akan segera ditemukan.
"Kalo ngomong bisa di jaga tidak! Mulut dan otakmu sama-sama bodoh," ujar Marko.
"Tidak usah membawa-bawa otak cerdas ku Mark, kalian berdua mentang-mentang sudah punya istri jadi seenaknya mengeroyok ku," ketus Jack.
"Cerdas dari mananya? Pacar saja belum punya sudah mengaku cerdas, kau ini lawak Jack," ujar Jeremy dengan tawanya yang sudah pecah melihat ekspresi wajah Jack.
"Benar sekali haha," Marko pun ikut tertawa melihat ekspresi wajah Jack yang menjijikkan.
"Terserah kalian, yang jelas di sini Brian ada di pihak ku, karena dia tidak ikut mentertawakan ku." Ucap Jack bangga.
"Itu karena dia sedang mabuk bodoh! Kalaupun dia sadar, dia yang akan mentertawakan mu paling kencang," ujar Marko.
Selanjutnya Jack membalas ucapan Marko, dan Marko pun tidak mau kalah. Jeremy yang melihat kelakuan sahabatnya yang sedang beradu mulut itu hanya bisa geleng-geleng kepala, Jeremy kembali memfokuskan perhatiannya pada Brian. Jeremy bisa melihat wajah Brian yang terlihat sangat lelah, dan Jeremy merasa kasihan pada Brian.
"Hentikan candaan kalian di atas penderitaan Brian," ujar Jeremy.
Seketika Marko dan Jack menghentikan candaannya, dan melihat kearah Jeremy yang menatap sedih kondisi Brian saat ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden Marriage (SELESAI)
RomanceKetika cinta di balas dengan ketidakcintaan, di situ pula aku jatuh dengan seribu kesakitan yang meradang di dalam hati. ©Liaressa / 2019