"Van, lo mau pesen makanan apaan?" Gadis manis dengan kemeja berwarna biru muda dan celana putih itu berbicara pada temannya yang sedang sibuk dengan ponselnya.
"Bentar-bentar."
"Udah entaran aja deh Van, main HP nya. Gue udah laper nih." sungut gadis itu.
"Yaudah Safaku sayang. Gue pesen jus Jambu aja satu. Gue nggak makan dulu deh, mau diet."
"Sok-sokan diet lo. Yaudah gue pesenin dulu." Safa mencibir Vania yang kembali sibuk dengan ponselnya.
Iya. Safa sudah sadar dari komanya sejak setahun yang lalu. Dia juga sudah mulai kuliah di kampus dan jurusan yang sama dengan Vania dan Igo. Walaupun berbeda angkatan, tidak masalah. Karena mereka selalu menyempatkan untuk bertemu. Seperti sekarang ini, mereka berdua sedang makan siang di Cafe langganan mereka. Bertiga dengan Igo, namun lelaki itu menyusul katanya.
"Van, banyak yang berubah ya dari hidup gue setahun belakangan ini. Selama gue koma, banyak hal yang berubah dan baru gue sadari sekarang. Kita semakin sibuk, beda sama setahun lalu dimana kita masih jadi anak SMA yang masih bebas mau ngapain aja. Dalam artian, belum sesibuk ini." Safa tersenyum, menerawang mengingat banyak hal yang berubah dalam hidupnya.
Vania mematikan ponselnya, dan menatap sahabatnya, "Yaiyalah, masa gitu-gitu aja. Kapan gue nikahnya kalo gitu."
"Elo mah nikah mulu, kelarin dulu kuliahnya. Rio aja juga masih kuliah di luar kota ini."
"Iye-iye."
"Btw ya, Van. Perasaan gue jauh lebih lega setelah ngungkapin semuanya."
"Fa, lo nggak perlu bahas itu kalo lo nggak mau."
"Van, kalo gue terus menghindar semuanya nggak akan pernah selesai, udah saatnya gue nata hidup gue buat jauh lebih baik lagi."
"Iya gue paham. Tapi, Fa-----"
"Jujur, gue masih bingung sama perasaan gue ke Alan. Gue nggak tahu juga gimana dia sekarang. Gue juga nggak bisa bilang kalau gue udah mulai punya perasaan ke Igo. Dia laki-laki yang baik. Tapi kenapa gue nggak bisa netapin hati gue buat dia."
"Lo nggak perlu maksain semuanya itu sekarang. Cukup biar waktu yang jawab semuanya."
"Setelah setaun, gue belum dapet jawabannya. Alan apa kabar ya? Lo masih sering kontakan sama dia?"
"Gue juga udah lama nggak pernah kabar-kabaran sama dia, dan Lo nggak perlu lagi mikirin apapun tentang dia. Dia mungkin udah bahagia di sana, dan lo juga harus bahagia. Udah ah, kita nggak usah bahas ginian. Mending kita nikmatin apa yang ada sekarang."
Safa mengangguk. Gadis itu merasa beruntung memiliki sahabat yang baik dan mengerti seperti Vania.
Sembari, memakan pesanannya, sekali lagi Safa membaca chat grup mereka bertiga. Yang isinya, Gea bilang jika ia akan bertunangan dengan laki-laki yang ia sayang. Sudah selesai masalah di antara mereka berdua. Mereka menganggap itu sebagai ujian dalam persahabatan.
Safa meletakkan ponselnya, dan menatap Vania, "Gea beruntung banget ya, dia mau tunangan sama cowok yang dia sayang."
"Iyanih, Fa. Gue jadi iri deh. Kapan ya bebeb Rio ngajakin gue tunangan." Vania menangkup dagu dengan kedua tangannya. Yaa, semacam gaya berkhayal.
"Mulai deh halunya."
Vania menyengir, "Fa, lo belum tau kan siapa calonnya Alena?"
Belum sempat Safa menjawab, laki-laki yang baru saja datang dengan memakai jaket fakultasnya itu, mengambil tempat di kursi yang kosong, "Lagi bicarain Igo cowok ganteng ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
"ALFCHAS" [Completed]
Novela Juvenil[COMPLETED] "Gimana rasanya mencintai seseorang dalam diam? Bertahan untuk tidak mengungkapkan, dan bahkan tidak memiliki hak untuk cemburu." - Chasafa "Di saat aku baru menyadari semua, aku berharap semesta memberikanku kesempatan kedua." - Alfian ...