"Van, sumpah gue ngga kuat deket-deket sama Alan. Rasanya jantung gue mau copot tau, apalagi pas dia bilang kalo gue sama dia."
"Santai aja mbak, kata lo kan Alan cuma becanda bilang gitu"
"Yaiya, tapi Van gue takut dia beneran tau kalo gue suka sama dia. Kalo dia jauhin gue gimana? Nih yaa, gue lebih milih kaya gini aja, dia nggak tau soal perasaan gue dan dia tetep ada di sekitar gue, walaupun nggak liat ke arah gue sekalipun."
"Emangnya lo mau terus-terusan cuma jadi temen sekelasnya doang, nggak mau jadi temen hidup?"
"Yaa nggak gitu juga"
"Udah tenang aja, selama lo nggak ngomong sama dia, dia nggak bakalan tau" Vania menatap Safa kemudian tersenyum hangat pada sahabatnya itu. Mencoba menenangkan gadis di sampingnya yang sedang galau.
Mereka sedang ada di kantin. Safa menyeret Vania kesini. Sebenarnya Vania sudah mau langsung pulang, otaknya sangat lelah sehabis berpikir soal matematika saat pelajaran terakhir tadi. Namun Safa tetap memaksanya dengan embel-embel akan di traktir bakso mang Heri, dan di sinilah mereka sekarang.
"Van, entar malem jadi kan ke pasar malem?"
Safa mengajak Vania ke pasar malam yang tidak jauh dari kompleks rumah rumah Safa, dan mereka telah sepakat akan kesana malam ini.
"Jadi dong, tapi---"
"Iyaa, gue tau lo kesana sama Rio kan?"
Vania menyengir "Tau aja lo, lo nggak mau ajak orang buat temen ngobrol kalo gue sama bebeb gue lagi ekhm pacaran."
"Kan ada lo sama Rio."
“Tapi jangan salahin gue yaa, kalo lo jadi kambing congek di sana” Vania terkekeh, kemudian memakan bakso yang baru di pesannya.
“Songong lu. Bayar sendiri lo baksonya” Safa berpura-pura kesal, walaupun ia sudah tau bahwa ia akan jadi kambing congek nanti malam.
“Yaa, geblek lo. Kan lo yang mau bayarin tadi. Gue ngga ada uang sama sekali”
“Paling-paling lo disuruh cuci piring ntar” ucap Safa sambil tangannya memakai tas biru miliknya yang sejak tadi berada di meja.
“Fa, lo mah gitu. Gue becanda kali. Lo masa tega ninggalin gue yang kaga punya uang ini”
“Bodo” Safa pergi ke mamang penjual bakso yang memang hanya tinggal ia sendiri. Para pedagang lain sudah tutup sejak istirahat telah usai tadi. Ia memberikan uang dua puluh ribuan kepada mang Heri. Kemudian sedikit berbisik.
“Makasih yaa mang”
“Fa, lo udah bayarin ? ”
“Siapa bilang, gue cuma bilangin ke mang Heri kalo baksonya lo yang bayar. Bye Vania” Safa terkekeh meninggalkan Vania yang tampak panik.
“Em-Mang, jadi berapa baksonya ?” takut-takut Vania bertanya juga.
“25.000 neng” Vania mengecek saku bajunya yang kosong, sebenarnya ia sudah tahu bahwa ia tak membawa uang sama sekali. Uang sakunya sudah habis untuk membeli sarapan dan makan saat istirahat tadi.
“Mang Heri kok kayanya gantengan yaa? oh iya mang, saya lagi ngga bawa duit ini, saya ngutang dulu boleh ngga Mang”
“Ngga bisa neng. Ini buat saya modal jualan besok”
“Mamang ngga kasian sama saya apa?” Wajah Vania di buat se memelas mungkin, berharap mang Heri akan luluh.
“Ya sudah, tapi ada syaratnya”
“Apa mang. Jangan yang aneh-aneh ya mang” Vania melirik ke sekelilingnya. Kosong. Hanya tinggal ia dan mang Heri di sana. Gadis itu bergidik ngeri.
“Ngga aneh-aneh kok neng, malah menyehatkan. Itu tuh banyak mangkok kotor di sana, boleh dicuciin yaa, mamang mau beres-beres yang lain”
“Menyehatkan dari hongkong. Mang, masa mamang tega sama saya. Besok saya bayar deh mang, double kalo bisa”
“Ngga bisa neng, kalo neng mau pulang yaa cuci piring dulu”
“Mamang mah tega sama Vania” Vania mengerucutkan bibirnya, ia hanya pasrah, kemudian menuju ke tempat mangkok-mangkok kotor, dan mulai mencucinya. Mang Heri hanya terkekeh pelan, kemudian melanjutkan pekerjaannya.
Mangkok yang telah di cuci di sampirkannya di sebelahnya. Vania telah usai dengan pekerjaannya yang kata mang Heri ‘menyehatkan’.
“Mang, udah tuh. Impas noh”
“Iyaa, makasih yaa neng Vania. Bilangin neng Safa juga kalo saya sudah berhasil ngerjain neng Vania. Satu lagi baksonya udah di bayarin tadi sama neng Safa” Mang Heri terkekeh menatap raut Vania yang sudah berubah menjadi kesal.
“Mang Heri jahat pisan euy, Ntar Vania nggamau makan di sini lagi lo”
“Yaa neng, Mamang kan cuma di suruh neng Safa. Kalo mau marah sama neng Safa atuh”
“Iyaa-iyaa mang, ntar saya di sampein” Vania meninggalkan kantin dengan muka masam.
Langkah Vania terhenti, saat salah satu teman sekelasnya sekaligus gebetan sahabatnya itu mengajaknya berbicara.
“Kenapa wajah lo” Alan menghampiri Vania yang masih tampak kesal, pada sahabatnya itu.
“Nggapapa”
“Udah jelek tambah jelek lu”
“Bodo”
“Ini semua gara-gara calon pacar lo itu”
“Calon Pacar gue? Siapa?” Alan mengernyitkan dahinya heran.
“Eh, nggadeng salah. Ngga jadi”
“Aneh lo”
“Bodo amat” Vania jadi punya ide untuk mengerjai sahabatnya balik. Ia terkekeh dalam hati. “Lan, ntar malem ada acara ngga lo?”
“Ngga ada”
“Bagus deh, ntar malem dateng yuk ke pasar malem deket kompleks Safa”
“Ngapain? mending gue tidur di rumah”
“Ada Rio juga, gue ntar malem mau pacaran sama bebeb gue, kasian Safa tuh ngga ada temen ngobrol, masa lo tega Safa jadi kambing congek”
“Ogah”
“Ntar gue bujukin si Rio biar dia mau gabung lagi sama Tim futsal lo, Masa lo tega Lan, kesian tau, Lan, lo kan baik ganteng lagi, masa lo tega si, Gue traktir lo deh”
“Ngga”
“Lan lo mah suka gitu, sama temen sendiri pelit, Gue bilangin bebeb Rio lo. Lan, ayodong. Lu baik deh sumpah, lu mau gue traktir apaa? Trus----“
“Kalo gue ngomong Iya, apa lo bakal berhenti ngoceh ?” Alan tampak malas mendengar ocehan Vania yang sepertinya tidak akan ada ujungnya.
“I-iya. Maaf deh maaf. Gue balik dulu yaa. Sampai ketemu ntar malem yaa. Pake baju yang bagus yaa sama tampil yang ganteng” Vania sudah berlari menjauh dari tempatnya.
Entah kenapa ia menerima ajakan Vania untuk menemani Safa. Hati dan pikirannya seolah kompak untuk mengiyakan ajakan Vania. Mungkin saja, ia malas jika harus mendengar ocehan Vania yang tidak akan ada habisnya, mungkin.
Hai hai, udah 9 chapter. THANKYOU THANKYOU. Minta maaf yak kalo typo-typo nya berceceran. Muahh
KAMU SEDANG MEMBACA
"ALFCHAS" [Completed]
Fiksi Remaja[COMPLETED] "Gimana rasanya mencintai seseorang dalam diam? Bertahan untuk tidak mengungkapkan, dan bahkan tidak memiliki hak untuk cemburu." - Chasafa "Di saat aku baru menyadari semua, aku berharap semesta memberikanku kesempatan kedua." - Alfian ...