Unforgetful Concert

3.6K 417 17
                                    


"Di sini? Atau boleh di depan lagi sih, Na?"

"Hmm. Aku juga sebenernya nggak tau, Ya. Apa aku turun sini aja deh."

"Beneran di sini? Masih jauh tapi gedungnya."

"Tapi udah pada ramai sampe sini."

"Managernya bilang di mana?" tanyanya sambil masih berusaha menyetir mobil pelan-pelan di antara mobil lain yang memenuhi jalan. Sore itu memang Aya nganterin aku ke konser band-nya Arsyaka. Sekalian dia sendiri mau hangout juga sih Sabtu malam sama temen-temennya. Padahal awalnya aku pengen nonton bareng dia tapi keduluan dia sudah janjian dengan teman kantornya itu. 

"Nah itu dia aku bingung. Aku sama Mas Pram disuruh nemuin Mbak Resya, di deket gerbang katanya. Tapi aku belum pernah ketemu Mbak Resya ini jadi nggak tahu deh orangnya yang mana."

Beberapa meter kemudian setelah lebih dekat ke gedung pertunjukan aku minta turun. Biar nggak menyusahkan Aya puter balik karena di depan semakin ramai. Biar aku aja jalan kali.

Setelah mencari-cari akhirnya ketemu juga yang namanya Mbak Resya ini. Ia ternyata sudah menungguku. Aku langsung diajak ke backstage. Di sana staff dan anggota sedang bersiap untuk pentas. Arsyaka belum beres didandani jadi aku duduk dulu di sofa. Sedemikian rupa mendelik di pojok biar nggak menganggu gerak staff yang ada di sini soalnya lumayan dense dan banyak mobilisasi.

"Hei." Ada Nanda yang tiba-tiba duduk di sampingku. Aku perlu waktu untuk tertegun sejenak sebelum membalas sapaan Hai-nya ini. 

Sudah kukataan belum kalau Nanda ini menurutku tampan? Wait, memang benar semua member The Vidays menyenangkan untuk dipandang--dengan kharisma masing-masing. Tetapi Nanda? Setiap memandanginya selepas mengenakan riasan begini, aku selalu bertanya-tanya dari pangeran mana dulu ia pernah lahir? Atau jangan-jangan ia seorang titisan dewa?

"Heh," Nanda menjentikkan jarinya di depan wajahku, lantas tertawa sendiri. Mungkin aku memang terlihat agak tolol dengan linglung di depan pria tampan ini. 

"Nglamunin apa sih? Nggak fokus banget. Hari ini belum ciuman sama Arsya?"

delete. delete. delete. 

Rasanya jadi ingin menghapus segala pujian untuknya yang tadi kuciptakan di kepalaku. Memang, biar tampang bak malaikat begini, Nanda tetaplah jadi bandmates yang usil. 

Kutinju pelan lututnya supaya ia diam. "Enggak ya."

"Oh udah? Terus? Kurang ya?"

"ENG...NGGAAK. Nan ih," desisku gemas. Kukepalkan kedua tangan tetapi hanya mampu mengudara saja. Nggak berani lagi memukul karena biar bagaimana pun, orang di depanku ini barangkali punya asuransi jiwa yang aku tak mampu bayar kalau ada apa-apa--akibat ulahku. Aku hanya bisa... diam saja sambil berharap ia berhenti membuatku salting.

Ia terkekeh geli. Dan untungnya memang tak lama aku perlu bercakap dengannya. Pria tampan ini (biarkan aku memujanya mumpung Arsya nggak ada) teringat kalau ia perlu mengambil beberapa foto dirinya. Dengan kamera polaroid yang biasa kutahu untuk random lucky gifts, dan kamera ponselnya sendiri--biasanya untuk diunggah di sosial media. Penyegaran timeline kepada followernya yang jutaan itu.

Tidak ada yang perlu kulakukan selepas Nanda pergi dari sampingku. Anak-anak lain--orang-orang yang kukenal sedang sibuk dengan persiapannya masing-masing. Menyisakan aku, si anak bawang ini, diam di sofa untuk beberapa saat. Aku hanya membunuh waktu dengan melihat ponsel sekilas. Benar sekilas karena tampaknya, aku lebih senang melihat Nanda berpose untuk pengambilan gambar dirinya itu. 

Dan sekali lagi, isi kepalaku bersuara mengagumi pemuda itu. Kok bisa ya, ada manusia yang seperti Nanda, yang seperti bukan manusia. Pangeran... 

"Heh! Ngelirik-lirik bintitan!" Tiba-tiba Arsyaka menjatuhkan dirinya di sampingku.

Dari JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang