Hampa

25 5 0
                                    

"Hai Leiya." Sapa Ketran saat berdiri disebelahku. Aku memandangnya dari samping—tak membalas sapaannya.

Aku menggeser menjauh darinya, dia semakin mendekatiku. Lalu Anjelin datang ke arah kami. "Leya, tugas lo nyimpulin pengujian bahan makanan yang mengandung protein." Aku mengangguk dan berjalan ke meja tempat kami menguji kandungan di dalam makanan.

Ketran ikut menyusulku, aku memukul bahunya, "Ngapain kamu ikutin aku?" Dia tersenyum polos, "Kita kan sekelompok, jadi gue mau bantuin lo bikin kesimpulan." Aku menggeleng, halah, palingan dia mau modus ke aku.

Aku menyerah saja dengan kelakuannya, lalu ia duduk di sampingku mengambil LKS pengamatan dan mengisinya. Dia ini jika dlihat-lihat pintar juga, meski kadang kebanyakan goblognya.

Aneh ya, padahal ia tidak ikut menguji bahan makanan, tapi kenapa ya bisa menulis kesimpulan. Lalu aku mengambil LKS yang ia pegang, membacanya dengan cermat—ternyata yang ia tulis sesuai dengan hasil yang diuji tadi.

"Oh iya, kita tadi pakek larutan biuret, kan?" Tanyanya memastikan, aku mengangguk membenarkan. Kemudian ia merampas LKS yang aku pegang dan mengumpulkannya ke Barri si ketua kelas.

Tak berselang lama, bel istirahat berbunyi, kami semua segera keluar dari Lab Biologi tak lupa melepas jas putih yang kami kenakan.

Aku dan Anjelin berjalan mengarah ke kantin tentunya Ketran ikut. Aku sempat ingin marah ke padanya, namun apa boleh buat.

Kami bertiga duduk di meja yang kosong. Anjelin berbaik hati memesan makanan yang ingin aku dan Ketran pesan.

"Kalo dari deket, lo cantik juga, ya." Ia berujar, kalau tau seperti ini aku akan ikut bersama Anjelin memesan makanan. Aku hanya bisa tersenyum sekenanya.

"Nanti pulang bareng gue, ya? Ada yang mau gue omongin." Aku menatapnya curiga, bilang saja dia ingin modus ke padaku. "Gak ah, aku bareng sopir aja." Tolakku halus. Kini malah dia yang menatapku curiga, "Bilang aja lo mau pulang bareng Galechka." Aku menggeleng dan mencibir, "Sok tau kamu."

Lalu dia berpikir sejenak, "Apa jangan-jangan lo mau ngehindarin gue?" Aku terdiam—dia tertawa menanggapi keterdiamanku.

"Yo kawannnn pesanannya sudah datang mari kita makan jangan hanya diam, yo yo ayo, yo ayo." Itu Anjelin, dia sedang nge-rap di tengah keramaian kantin, semua mata tertuju padanya, tapi ia tidak peduli tatapan itu dan beringsut duduk di sampingku.

"Gimana? Gue udah pantes jadi rapper belum?" Aku menyengir, jujur, dia itu tidak seperti orang yang sedang nge-rap. Tetapi karena ia menatapku dengan penuh kecerian aku jadi tak enak hati untuk berkata jujur.

"Hm, aku kasih nilai 70." Kataku, dia tampak senang walaupun tidak kukasih nilai sempurna.

Ketran menatapku horor, sepertinya ia tau jika aku sedang berbohong. Lambat laun, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

~~~

"Kuy," Ketran merangkulku. Aku melepasnya secara paksa, "Ih jijik tau!" Dia menggaruk tengkuknya, "Lagian aku gak iyain ajakan kamu." Tambahku. Dia menatapku bingung dengan wajah sok polos, "Tadi gue denger lo bilang iya." Aku mencibir, pandai sekali dia ini berbohong.

"Eh, Anjelin!" Panggil Ketran, Anjelin menoleh kemudian mendekat, "Tadi yang Leiya bilang di kantin saat lo nan—" aku langsung membekap mulut cowok sialan ini.

"Ayo, katanya mau pulang." Aku langsung melepas tanganku. Anjelin bingung melihat kelakuan kami berdua.

"Maksud gue, gue setuju dengan yang Leiya bilang di kantin tadi." Wajah Anjelin tampak sumringah, "Makasih, Ketran! Lo temen gue deh." Ia berlari-lari di koridor sambil bersenandung bahagia.

"Kuy." Aku terpaksa menerima ajakannya, cowok ini selalu punya cara untuk membuatku mengalah. Di parkiran, tampaknya Galechka sudah menungguku, ia berjalan mendekat.

"Pulang bareng, yuk?" Tawarnya, aku ingin menerima ajakan Galechka namun Ketran mencela, "Dia pulang bareng gue, kita ada urusan." Belum sempat aku ingin memprotes, Ketran sudah terlebih dahulu mengenggam tanganku.

Galechka terdiam, "Berbakat banget lo ngambil punya orang, Ket." Tak ingin ambil pusing, Galechka berjalan ke arah motornya sambil sesekali mengumpat.

Tibalah kami berdua di taman komplek, Ketran menyuruhku untuk duduk sebentar di bangku taman karena ia akan membeli es krim. Sebenarnya aku risih berdekatan terus dengan Ketran. As you know, dia selalu mengingatkanku kenangan tentang Werang.

"Nih." Dia memberiku es krim rasa cokelat, "Makan es krim diwaktu terik itu anugerah." Aku terdiam. Dari sekian banyak rasa es krim, kenapa dia memberikanku rasa cokelat?

"Kenapa kamu beli rasa cokelat?" Tanyaku. Ketran tampak berpikir, "Lo itu sama kayak cokelat. Sama-sama manis." Aku terdiam seribu bahasa mendengar jawabannya. Es krim yang kupegang jatuh begitu saja.

"Nih." Werang memberikanku es krim rasa cokelat. Aku menerimanya dengan senang hati, sewaktu pulang sekolah aku dan Werang sering mampir membeli es krim. Katanya panas-panas gini enaknya makan es krim. Setiap kami membeli es krim, Werang selalu saja memesan rasa cokelat untukku. Karena aku penasaran sedari dulu maka aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.

"Kenapa setiap hari kamu selalu belikan aku rasa cokelat?"

"Karena lo sama kayak cokelat. Sama-sama manis." Mendengar itu semburat merah di pipiku muncul begitu saja.

"Cie blushing cie." Werang mengejekku terang-terangan, aku memukul dadanya pelan, "Ish, apaan sih. Ngaco deh." Sumpah demi apapun, aku malu sekali! Lantas aku memakan es krim dengan lahap untuk menghilangan rasa kegugupan ini.

"Halo? Ada orang?" Ketran melambai-lambaikan tangannya di depanku. Seketika aku tersadar dari lamunanku. "Lagi ngelamunin apaan, sih?" Katanya.

"Kenapa sih kamu itu mirip banget sama Werang?" Bentakku ke arahnya, dia tampak terdiam. "Emang salah ya kalo gue baik dan peduli sama lo? Btw, Werang itu mantan pacar lo ya? Kok tiba-tiba sensitif gini sih."

Aku mengelus-ngelus dada, aku tidak boleh melampiaskan kemarahanku ke Ketran.

"Leiya." Aku menoleh dan menangis saat ia memanggilku Leiya. "Eh, eh, kenapa nangis?" Ketran seketika panik melihatku menangis. Ia memegang bahuku berusaha menenangkan. Bukannya mereda, aku malah menangis menjadi-jadi.

"Jangan nangis." Katanya, "Kenapa?" Ucapku sambil sesegukan.

"Gue gak suka lihat cewek nangis." Ujarnya. "Tapi ini udah gak bisa aku tahan lagi." Aku kembali menangis.

"Menangis gak akan pernah bisa menyelesaikan masalah."

"Menangis kadang bisa bikin kita lega." Aku mencelanya, Ketran kemudian memelukku erat. "Gapapa, nangis aja. Mungkin benar yang lo bilang tadi." Aku kembali menangis dengan lebih keras sambil memeluknya juga.

Setelah benar-benar lega, aku melepas pelukannya, "Maaf, ya, baju kamu jadi basah."

Dia menggeleng, "Gapapa kok, santai aja."

Ketran berdiri aku pun juga. "Pulang yuk, oh iya, rumah lo dimana?"

"Di blok C." Jawabku, kami berdua pergi meninggalkan taman ini. Setiba kami di depan rumahku, aku melambaikan tangan padanya dan mengucap terima kasih berkali-kali.

"Tenang aja, gue bakal bikin lo tersenyum dan lo bakal ngelupain Werang." Ucapnya, aku tersenyum mendengar ia berbicara dengan nada serius.

Setelah Ketran pergi, rasanya hatiku tiba-tiba hampa. Kenapa, ya?

Hello You (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang