Tujuh

33.5K 2.4K 140
                                    


"Kamu ngantuk ya?"

"Kamu nanya lagi, aku cium nih!" sungutnya. Itu memang pertanyaan kesekian yang aku lontarkan sejak satu jam perjalanan kami. Gila, baru satu jam, tapi aku sudah merasa kalau ini lama banget.

Aku mendengus dan kembali meluruskan tubuhku menghadap kedepan, dari yang sebelumnya memutar badanku kesamping untuk menatap sepenuhnya kearahnya.

"Kalo kamu ngantuk kan, kita bisa istirahat dulu di hotel deket sini. Atau nggak, kamu mau aku gantiin nyetir?"

Bara langsung menatapku horror. Tepat ketika mobil behenti di lampu merah. Sehingga atensinya kini fokus mengarah padaku. "Aku masih mau hidup seribu tahun kedepan, Bi!"

Setelah lulus kuliah, aku memang tidak langsung mengembangkan bisnis PantheaShoes. Ada jeda beberapa bulan untuk aku menganggur, yang akhirnya kugunakan untuk melakukan banyak hal. Seperti latihan menyetir, dan ikut kursus memasak.

Yah meskipun kini aku sudah punya SIM A, tetap saja aku belum terlalu ahli dalam menyetir. Terbukti ketika aku memaksa menunjukkan skill menyetirku pada Bara, yang malah berujung pada menabrak garasi rumahnya. Untung saja mobilnya punya asuransi, jadi aku nggak perlu pusing, dan cuma bisa cengengesan aja. 

Aku jadi teringat, bagaimana Bara marah-marah karena aku ikut kursus memasak. Mulanya, dia memang sangat mendukung kegiatanku itu, dan beranggapan kalau aku sedang berusaha untuk menjadi istri yang baik, dengan belajar memasak.

Tapi kemudian aku membantah ucapannya, "Ini buat jaga-jaga aja, Bar. Misal sampe dua bulan kedepan aku nggak dapet kerjaan juga, atau nggak kepikiran mau kerja apa, seenggaknya aku bisa masak. Nanti aku bakal ngelamar jadi TKW ke Malaysia atau Dubai buat jadi juru masak sultan-sultan kaya, sekalian nyambi jadi simpanan mereka, biar cepet kaya."

"Kamu tuh kenapa sih, dari tadi?"

Pertanyaan Bara langsung menarik perhatianku dari lamunan. Beberapa kali aku menarik nafas, dan menghembuskannya perlahan.

Bara memang sudah menceritakan secara detail mengenai anggota keluarga besarnya yang lain. Bahkan cerita tentang Eyang ini yang paling banyak mendominasi. Kekagetanku kemarin saat Bang Wira bilang ingin bertemu Eyang itu, bukan karena Bara belum pernah menceritakan sosok Eyangnya. Tapi justru karena cerita Bara selama ini terlalu lengkap, sehingga membuatku takut. Sekaligus tidak menyangka kalau aku akan bertemu Eyang secepat ini.

Kini aku tengah dilingkupi tumpukan rasa tidak karuan antara takut dan khawatir. Tentu saja yang paling kucemaskan adalah, bagaimana kalau aku tidak diterima di keluarganya? Berhubung kedua orang tuanya Bara sudah meninggal, aku takut keluarga Bara yang lain menjadi merasa berhak untuk mengatur-ngatur hidup Bara. Termasuk memilihkan pasangan yang menurut mereka paling cocok untuk Bara.

"Kasihan tuh, Zio tidur dibelakang. Dia pasti capek banget, tidur posisi kayak gitu." Ucapku dengan sedikit menoleh ke bangku belakang.

Di barisan bangku tengah, Zio tertidur pulas dengan tubuh membujur menguasai seluruh bangku. Anak itu memang sengaja kuajak, untuk mencairkan suasana, kalau-kalau keluarga Bara kurang menyenangkan. Aku bisa memakai Zio sebagai alasan untuk memisahkan diri dari mereka, dengan dalih mengurusi Zio.

Berhubung hari sabtu besok jadwalku bertemu klien tidak bisa direschedule, akhirnya Bara yang mengalah dengan mengajakku ke rumah Eyang di hari kamis. Dia sampai rela mengajukan cuti, agar bisa membawaku ke Semarang. Katanya, lebih baik dimajukan daripada aku tidak kesana sama sekali.

Maka disinilah aku berada. Terus bergerak gelisah didalam mobil, sambil memikirkan kemungkinan yang akan terjadi beberapa jam kedepan.

"Kamu gugup?" alih-alih menanggapi ucapanku tadi, Bara malah menoleh kearahku dengan penuh. Ya meskipun hanya beberapa detik, kemudian dia kembali menghadap ke jalanan.

Come Back to Bed 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang