Tiga Belas

23.7K 1.8K 119
                                    

"Nih, perut lo dikasih ini dulu!"

Begitu keluar dari kamar mandi, aku langsung disambut oleh Adara yang wajahnya super panik. Dia menyodorkan minyak angin roll on padaku, yang langsung kuterima, meski pandanganku mengarah ke luar kamar, untuk mencari keberadaan Bara.

"Buruan dikasih minyak dulu. Lo mending istirahat di kamar gue dulu aja. Ini kamar lo biar dibersihin dulu." ucap Adara lagi.

Selanjutnya, dia mengambil obat yang ada di nakas tempat tidurku, dan menuntunku untuk keluar kamar. Dia benar-benar terlihat panik dan memperlakukanku seperti aku tengah sekarat. Karna tubuhku lemas banget, aku menurutinya, dan mulai berbaring di kasur Adara.

"Kata Bunda, udah saatnya lo minum obat." Kini Adara menyodorkan segelas air putih dan obat padaku.

"Bunda ke mana?"

"Tadi sih bilangnya ke depan bentar. Nih, buruan! Gue mau ngurusin bekas muntahan lo tuh! Keburu malah Bunda yang bersihin, gue nggak enak!" omel Adara. "Pokoknya lo hutang banyak banget nih ke gue. Liat aja, begitu lo sehat, gue bakal tagih!"

"Bara ke mana?" sialnya pertanyaanku tidak mendapatkan jawaban, karena Adara sudah terburu keluar dari kamar. Karena kepalaku pusing banget, aku memutuskan untuk memejamkan mata dan tidur sebentar. Aku memang perlu waktu untuk menjernihkan pikiran setelah apa yang tadi Bara katakan padaku.

Namun, meski mataku terasa sangat berat dan mengantuk, aku tidak bisa tidur juga. Otakku yang sejak tadi membeku, mulai mencair. Sialnya, yang terbayang di otakku sekarang malah seluruh momen-momen indah yang sudah kulalui dengan Bara. Mulai dari pertama kalinya aku masuk ke kamarnya, saat dia sedang tidur. Lalu jalan ke mall bersama Zio, seperti keluarga kecil yang harmonis. Dan yang paling melekat di otakku adalah setiap detail percintaan kami yang membuat pipiku memanas.

Sebenarnya aku juga tidak tahu apa yang kurasakan dengan Bara sekarang. Aku tidak berani mendefinisikan perasaan ini dengan kata cinta. Karena menurut pengalaman yang sudah kulalui, cinta bisa saja hanya ilusi. Bisa saja aku sangat yakin kalau aku mencintai dia, tapi sebenarnya aku hanya terlanjur merasa nyaman, jadi tidak mau berpisah dengannya. Atau bisa saja, aku masih bertahan di sisi Bara sampai sekarang, karena aku masih tidak terima dengan apa yang dia lakukan dulu padaku, dan ingin balas dendam. Dulu aku sempat berpikir ingin langsung balikan dengan Bara, lalu menghancurkan Bara setelah dia sempurna masuk ke dalam dekapanku.

Huft. Rasanya aku nyaris gila karena cinta keparat ini. Tapi meski aku benar-benar mencintai Bara, belum tentu juga aku siap menikah dengan Bara. Seperti yang sudah banyak orang tahu, cinta saja tidak cukup untuk membangun sebuah pernikahan.

Ada berapa ribu orang yang tetap bercerai meski sebelumnya mereka menikah karena sama-sama cinta? Ada berapa juta orang yang akhirnya tetap selingkuh, meski awalnya saling mencintai dengan sangat? Ada berapa ratus orang yang bisa menikah langgeng sampai akhir hayat mereka tanpa cinta?

Kadang aku kesal dengan orang-orang yang selalu menyimbolkan cinta dengan warna merah jambu, dan bunga-bunga yang bertebaran penuh bahagia. Padahal kebanyakan kisah cinta justru berakhir tragis dan penuh air mata. Kenapa orang cenderung lebih mengingat semua hal yang membahagiakan, meski sebenarnya jauh lebih banyak kisah sedihnya?

Namun ketika Bara mengatakan kalimat panjangnya itu dengan muka penuh kekhawatiran, dari situlah aku mengerti, meski aku punya seribu satu alasan untuk menolak ajakannya itu, tapi aku masih punya satu alasan kuat untuk menerimanya. Apalagi alasan terbaik selain aku tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupanku tanpa Bara setelah ini. Atau lebih tepatnya, aku yang tidak siap untuk berpisah dan kehilangannya lagi, lalu kami menjalani hidup masing-masing dalam kehampaan dan gelimang kenangan. Bahkan membayangkannya saja aku tidak berani. Sudah pasti aku nggak akan sanggup menjalani hidup seperti itu!

Come Back to Bed 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang