Dua Puluh Lima

16.5K 2.1K 165
                                    

pantesan aja banyak author yg suka pasang target jumlah vote, komen dan segala macemnya sebelum update. ternyata emg harus digituin dulu ya, biar pada mau follow, vote, ama komen. jadi semalem gue liat followers gue 5,99k. nah gue bilang di instastory kalo, pagi ini udah 6k, gue bakal update Bara lagi. dan ternyata bener, skrg udah 6k. thank you buat yang udah mau ngeluangin waktu baca cerita ini. 

dan yg bikin sedih, di part 23 vote-nya sampai 1,9k. tapi di part 24 cuman 1,2k. apa gara-gara enggak gue ingetin suruh vote dulu baru baca? makanya pada gak mau vote? hhhh

***

"Ini rumah lo, Sab? Gila, udah sukses banget ya lo, sampai bisa beli rumah sebegini bagusnya, di perumahan lagi!" komentar Calvin ketika mobilnya sudah berhenti di depan pagar rumahku.

"Lo sengaja mau ngatain gue ya? Rumah kayak begini aja, lebay banget!" sungutku.

"Sumpah gue akuin elo hebat banget, Sab! Gue tinggal bentar, udah bisa beli rumah gini. Walaupun ini keliatannya rumah minimalis, tapi gue yakin ini harganya lumayan. Apalagi ini kan di perumahan tengah kota begini." Calvin tidak mau kalah. Dia benar-benar memandangi pelataran rumahku dengan penuh kekaguman. Padahal aku yakin dia punya rumah super mewah sebesar istana.

"Nggak usah ngarang deh! Ini gue ngontrak. Itu pun gue joinan sama temen gue. Jadi gue tinggal berdua. Gue belum sesukses itu, Cal! Elo nih, yang jauh lebih sukses! Mana sekarang duitnya udah bukan rupiah lagi!" sahutku sambil melepas sabuk pengaman. "Atau jangan-jangan, lo sengaja ya bilang begitu terus ke gue gara-gara minta gue puji balik gini?"

Calvin tertawa. Dia ikut melepas sabuk pengaman, bersiap keluar dari mobil. Aku memang memintanya untuk mampir karena aku ingin mengembalikan kunci apartemennya dulu yang masih dititipkan padaku. Sekarang aku jadi merasa bersalah pada Calvin, karena tidak pernah membersihkan apartemen itu. Padahal Calvin memintaku untuk memakainya. Seharusnya walaupun apartemen itu tidak kupakai, aku tetap rutin membersihkannya. Bahkan aku lupa kalau dititipi apartemen itu.

"Oh, cuman ngontrak? Coba kalo lo jadian sama gue, Sab! Mau apartemen di mana pun gue kasih. Atau lo mau rumah di pinggir pantai ala-ala Hawai gitu? Beuuh... gampang!" tukas Calvin sambil menjentikkan kelingkingnya penuh kesombongan.

"Anjrit, ngeselin banget lo!" balasku sebelum benar-benar keluar dari mobil. Sambil berjalan menuju pagar rumahku, aku mengaduk-ngaduk tas untuk mencari kunci pagar. Dilihat dari kunci pagar yang bergembok, pasti Adara juga belum pulang. Seperti biasanya, hari Sabtu dan Minggu adalah jatahnya pacaran dengan Galen. Bisa jadi dia baru akan pulang hari Senin pagi. Atau mungkin nanti tengah malam.

Calvin menyusulku sambil membawa dua paper bag yang dia keluarkan dari mobilnya. "Nih, kado lo ketinggalan!"

Aku menatapnya kesal, tapi tetap menerimanya. "Besok kalo gue nikah beneran, lo harus kasih gue kado lagi. Tapi jangan lingerie dong! Sekarang gue lagi suka koleksi tas!"

Tangan Calvin meraup wajahku santai. "Nggak minta kado paket honeymoon ke Maldives sekalian?"

Aku menggeleng. "Gue mau honeymoon ke Swiss. Tapi kayaknya nggak akan seru kalo elo yang bayarin. Gimana kalo elo kasih gue villa aja? Gue lebih suka villa di pegunungan, daripada yang di pinggir pantai ala Hawai gitu."

Setelahnya Calvin tidak menanggapinya lagi dan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya kecil sambil terkekeh.

"Gue nggak jago bikin kopi, Cal. Adanya kopi instant. Elo mah nggak level kan sama kopi instant? Jadi lo nggak usah minum ya? Gue males ribet kalau ujungnya cuma lo katain!" ucapku sambil terkekeh, mempersilakan Calvin untuk memasuki pagar.

Come Back to Bed 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang