Empat Belas

17.8K 1.6K 74
                                    

"Kok Bara nggak ke sini juga sih, Teh?"

Sudah kesekian kalinya Bunda menoleh ke arah pintu yang sengaja dibiarkan terbuka lebar. Sebenarnya aku juga ikut melirik ke arah pintu setiap kali Bunda melakukannya. Hanya saja, aku tetap memasang muka malas, berlagak santai, meski sebenarnya hatiku dipenuhi dengan kekhawatiran yang meluap-luap.

"Sekarang kamu ceritain ke Bunda semuanya, sedetail mungkin, nggak boleh ada yang kelewat. Bunda curiga Bara begini gara-gara kelakuan atau omongan kamu nih!" Bunda yang tadinya berdiri untuk membuka tirai jendela lebih lebar lagi, kini duduk di sebelahku, seolah berusaha mengintimidasiku.

"Cerita apa sih, Bun? Aku kan udah ceritain ke Bunda semuanya. Bunda juga kenapa nggak bilang dari awal sih, kalo Bara dateng ke rumah buat ngelamar aku?"

"Bunda kan niatnya mau ngasih surprise. Malah tadinya Ayah nggak ngijinin Bunda ikut Bara ke sini. Kata Ayah, kalo mau ngasih surprise mending sekalian pas Teteh pulang ke rumah, langsung bawa penghulu aja. Biar sekalian sah, jadi Bunda sama Ayah nggak perlu khawatir kalo Teteh aneh-aneh."

"Siapa yang aneh-aneh sih, Bun?" gerutuku pelan, sambil menyandarkan tubuh pada sofa. Tatapanku mengarah pada televisi yang sedang menayangkan drama korea yang disetel oleh Bunda.

"Idih, sok muda banget tontonannya begini." Cibirku, sambil mencari remote televisi untuk mengganti tayangannya. Sekalian mengalihkan pembicaraan, agar Bunda tidak mengintrogasiku macam-macam soal hubunganku dengan Bara.

"Bunda nggak gampang dibego-begoin ya! Emangnya Bunda nggak tahu, apa yang udah Teteh lakuin sama Bara?! Makanya Bunda setuju Teteh cepet-cepet nikah sama Bara. Biar... " aku langsung menoleh ketika Bunda sengaja menggantungkan kalimatnya.

"Biar apa, Bun?"

"Emangnya Teteh nggak khawatir? Bara udah siap banget buat nikah, tapi Bara bilang, Teteh malah yang nggak mau dan terus nolak, dengan alasan nggak jelas, yang nggak masuk akal. Gimana kalo lama-lama Bara capek, terus nyerah, menganggap Teteh cuman main-main? Jangan mempermainkan perasaan cowok, Teh."

Sial. Kenapa Bunda mengatakan semua hal yang sejak kemarin aku cemaskan? Padahal tanpa perlu diucapkan dengan gamblang begini, aku sudah sangat takut dan suka menangis setiap malam. Setelah Bunda mengatakan semuanya dengan lebih jelas, aku jadi semakin sadar akan kebodohanku yang sudah tidak tertolong lagi. Dan sekarang aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

"Kenapa Bunda jadi ngaco begini sih?" meski Bunda sudah marah-marah penuh emosi, aku tetap berlagak sok tenang, dan merasa kalau semuanya aman, tidak ada yang perlu dicemaskan. Sebagian diriku masih sempat merapalkan kalimat, "Ini nggak sepenuhnya salah lo, Sab! Chill!"

"Mending kamu cepet ke rumah Bara." Pandangan Bunda menajam. "Sebelum Teteh menyesal seumur hidup, lho!"

"Kenapa sih Bunda jadi khawatir begini? Bara nggak bisa dihubungi bukan berarti dia mau pergi, dan meninggalkan Teteh. Mungkin karena dia emang lagi sibuk kerja, dan banyak urusan yang harus dia selesaikan. Bunda tau sendiri kan, kemarin dia cuti hampir seminggu. Pasti di kantornya lagi banyak kerjaan." Aku mengeluarkan pembelaanku, yang selama ini berhasil meredam pemikirkan konyolku soal kehilangan Bara. Tidak. Bara tidak sedang menghindariku, atau berencana meninggalkanku. Setelah apa yang dia katakan kemarin, tentu tidak semudah itu Bara pergi. Dia tidak bisa dihubungi hanya karena sibuk dengan kerjaannya. Dan aku tidak perlu khawatir.

"Kayaknya Bunda bener deh, Sab. Lo harus nyamperin Bara." Tiba-tiba seruan Adara dari dapur muncul. Diikuti dengan sosoknya yang kini berjalan ke arah kami dengan membawa sepiring pisang goreng. Aku sudah tahu kalau itu pisang goreng, karena dia sudah koar-koar sejak tadi minta dibantu memotong-motong pisang, tapi aku mengabaikannya.

Come Back to Bed 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang