Delapan

24.5K 2.1K 104
                                    

"Ealaaah... Genduk ayuneee!"

Sesuai yang Bara ucapkan di mobil tadi, keluarganya menyambut kehadiranku dengan sangat baik dan hangat. Terutama Eyang uti yang langsung memelukku hangat, dan langsung mengajakku ngobrol macam-macam. Seolah-olah aku ini adalah cucu Eyang yang hilang, dan baru ditemukan sekarang.

"Yuni endi? Undangke Yuni , kon rene!" pinta Eyang pada Asri, asisten rumah tangga Eyang yang ikut menyambutku di ruang tamu. "YUUUUN, IKI LHO, PACARE BARA SENG AYU TENAN! RENE YUUUN!"

Tidak lama kemudian, keluar sosok wanita berusia empat puluhan, yang kutebak adalah Tante Yuni, adik tiri Mamanya Bara. Tante Yuni terlihat masih sangat awet muda dengan wajah mulus tanpa kerutan. Tidak heran, melihat bagaimana Eyang yang masih sehat bugar, dengan kulit yang masih kencang, seperti masih berumur lima puluhan, padahal kata Bara, usia Eyang sudah hampir tujuh puluh.

Tante Yuni langsung mengajakku ngobrol. Ya pertanyaan biasa, mulai dari yang sederhana seperti, tadi sampai rumah jam berapa, sampai asal daerah dan pekerjaan kedua orang tuaku. Untungnya Tante Yuni dan Eyang bersikap sangat ramah, sehingga aku bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan mudah dan santai juga.

"Ini cucunya Eyang tuh siapa sih sebenernya? Dari tadi Bara dicuekin lho!" ucapan Bara langsung disambut dengan tawa geli Eyang dan Tante Yuni.

"Pinter, Bar, kamu kalo cari pacar!" Tante Yuni tersenyum kearahku, kemudian menyalami Bara yang mengulurkan tangan untuk mencium tangan Tante Yuni.

Setelahnya, kami semua duduk di ruang tamu rumah Eyang yang terbilang cukup luas. Sejak menginjakkan kaki di halaman rumah Eyang yang luas, aku sudah dibuat kagum dengan bangunan rumah Eyang yang modern, tapi masih terkesan asri dengan dihiasi banyak tanaman. Mulai dari berbagai bunga di vas, juga sederet tanaman yang ditanam secara hidroponik di dalam rumah. Jangan tanya bagaimana sejuknya halaman rumah Eyang yang penuh dengan beraneka ragam tanaman. Benar-benar potret rumah Eyang tradisional yang ada dalam bayanganku sebelumnya. Bedanya letak rumah Eyang bukan di desa dengan banyak sawah dan kebun disekitarnya. Malah rumah Eyang berada di salah satu kawasan elit di Semarang.

"Oalaaah... ini tho, Sabina yang bikin heboh pas lebaran itu?" sebuah seruan lagi terdengar, diikuti dengan munculnya wanita seusia Tante Yuni. Dilihat dari wajah keduanya yang mirip, aku langsung mengasumsikan kalau beliau ini adalah Tante May, adiknya Tante Yuni.

Bara memang sudah menceritakan seluruh keluarga besarnya padaku. Meskipun aku tidak hafal semuanya secara detail, tapi aku ingat kalau Mamanya Bara punya dua adik tiri yang tinggal di dekat rumah Eyang untuk menjaga dan menemani Eyang.

"Kalo ini pasti, Tante May ya?" aku menyapa lebih dulu, berusaha mengakrabkan diri.

Muka Tante May langsung berbinar senang, dan mencium pipi kanan-kiriku bergantian.

"Loh, perasaan Eyang nggak nyebut-nyebut nama May dari tadi lho!" Eyang menyela lebih dulu dengan heran.

"Bara udah cerita Eyang," itu bukan suaraku, melainkan suara Bara yang kini duduk tenang disebelahku.

"Tahu nggak, Sabina, Bara itu ya, dua kali lebaran kemarin tuh selalu heboh banget deh bahas kamu. Sabina yang begini lah, Sabina yang begitu lah. Bikin Eyang tuh jadi gemes banget tuh.  Penasaran juga, Sabina tuh yang mana sih?! Kayak apa sih orangnya, kok sampai bikin Bara kalang kabut segininya." Tante May ini tipe wanita cerewet yang hobi gosip dan nggak akan diam kalau belum berpisah. Alias akan terus bicara selama ada aku di sini.

"Nggak ya, Tante! Aku nggak segitunya! Tapi Abang sama Ben aja yang lebay!" sanggah Bara.

"Yo pancen! Abangmu sama Ben yang cerita ke Tante, soal Sabina. Pie meh cerita, wong kamunya diem aja, murung terus!" ucap Tante May, kemudian menatap ke arahku. "Kalian itu sudah pacaran berapa lama sih? Setiap lebaran emang suka berantem gitu ya?"

Come Back to Bed 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang