Dua Puluh Satu

19.5K 2.2K 82
                                    

"Gue nggak bisa mikir lagi, Sab!" Emosi Adara ikut berapi-api, sama sepertiku.

Begitu aku pulang dari rumah Bara, aku langsung menceritakan semua yang kudengar pada Adara. Tadi ketika Bara mengantarku pulang, aku memutuskan untuk tidak membahas apapun soal ini dengan Bara, karena aku tahu dia pasti sedang sangat emosi. Bisa-bisa hanya karena aku salah bicara sedikit, kita malah jadi berantem. Butuh kepala dingin dan suasana yang bagus untuk membicarakan masalah ini. Makanya sepanjang perjalanan aku hanya diam, sengaja memberinya sedikit waktu untuk dia menenangkan dirinya dulu, sebelum menceritakan semuanya padaku.

"Lagian, si Wira tuh nggak mikir apa?! Udah tau mau nikahin janda, kenapa dia bisa sepercaya diri itu langsung bawa Catherine sama anaknya ke rumah Eyangnya coba? Rumah Eyang loh! Gila tuh orang! Eyang kan cenderung lebih kaku dan pikirannya masih agak kuno. Biasanya Eyang-eyang tuh suka langsung ngejudge. Selama ini kan, image janda tuh jelek banget. Apalagi kalo janda cerai. Mau apapun penyebab mereka cerai, pasti orang-orang bakal ngejudge buruk ceweknya." Adara terus mencerocos, mewakili isi hatiku yang sejak tadi ingin kusuarakan.

"Gue juga heran deh! Perasaan nih ya, kalo gue baca novel-novel gitu, cowok single yang mau nikahin janda tuh minta restunya susah banget. Harusnya Bang Wira bertahap gitu kan? Kayak ngenalin ceweknya dulu gimana bibit, bebet, bobotnya. Kalo udah cocok, baru dikasih tau soal masa lalunya. Tapi kenapa Bang Wira nggak mikir sampe sono ya?" tambahku.

Adara mengangguki ucapanku. "Apalagi janda yang punya anak. Pasti bakal lebih susah kan?! Walaupun umur Catherine di bawah umur Wira, tetep aja orang pasti mikir, 'Hey, masih banyak cewek single yang mau sama lo! Kenapa harus janda anak satu sih?!' Ditambah, dalam kasus Wira ini, anaknya Catherine itu bisa dibilang nggak jelas asal-usulnya."

Aku menghempaskan tubuhku pada sofa, lalu memejamkan mataku. Meski rasanya kesal banget, tapi ada sesuatu yang membuatku senang. Yaitu fakta di mana Bara marah besar akibat kebodohan Bang Wira, yang rupanya dikarenakan Bara khawatir pernikahan kami jadi tertunda.

Sebenarnya aku heran juga kenapa Bara jadi kebelet nikah banget gini. Tapi mengingat usia Bara yang sudah memasuki angka 27, aku memaklumi kenapa dia ingin cepat menikah. Lagipula, apa lagi yang kami tunggu? Dia sudah terbilang mapan dengan penghasilan tetap dan punya apartemen lumayan besar untuk tempat tinggal keluarga kecil kami. Dan yang paling penting, seperti yang dikatakan oleh kebanyakan orang yang jatuh cinta, aku tidak bisa hidup kalau harus kehilangan Bara lagi. Setiap kali aku melihat Bara, aku merasa bahwa semuanya sudah cukup. Rasanya aku tidak membutuhkan apapun lagi, selain dirinya di dunia ini.

Oke, ini lebay. Tapi kebanyakan orang jatuh cinta itu, memang begini.

"Jadi, tanggal nikahan lo bakal diundur juga dong, kalo nikahan mereka diundur?" pertanyaan Adara langsung kusahuti dengan anggukan.

"Rencananya nih ya, mereka nikah bulan juli. Alias tiga bulan lagi. Gue sama Bara Desember. Kalo mereka nggak jadi Juli, ya kemungkinan gue bakal diundur sampe Februari atau Maret."

Adara terlihat semakin kesal mendengar jawabanku. "Gue jadi elo pasti emosi banget dah! Langsung gue labrak deh tuh si mak lampir sialan itu!"

"Sebenernya gue nggak ngebet nikah cepet sih. Kayak kata Bunda, hal yang terburu-buru itu hasilnya nggak akan bagus. Makanya buat pernikahan, gue maunya disiapin dengan matang. Nggak perlu mewah-mewah, yang penting hangat dan intim." Aku menegakkan punggungku untuk menatap Adara, sebelum melanjutkan. "Tapi yang bikin gue kesel adalah, kenapa hidup Catherine selalu mengganggu kehidupan gue?! Apa nggak bisa ya, dia hidup dengan hidupnya sendiri, tanpa sangkut-sangkutin gue gitu?"

"Lah, makanya! Coba lo intropeksi diri, lo ada masalah apa sama dia? Kayaknya dia dendam banget deh sama lo! Dulu, tiba-tiba aja dia ngerebut Bara. Sekarang, malah ngerusak rencana nikahan lo!"

Come Back to Bed 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang