Plok! Ceplok!
Belasan telur busuk menghantam diriku, mengakibatkan lendir kuning berbau tak sedap itu mengalir di antara pintalan benang putih yang sedang kupakai. Bukan. Mereka bukan sedang merayakan ulang tahunku. Mereka juga bukan sedang memberiku selamat atas penghargaan yang kudapat. Mereka hanya sedang melempariku dengan luapan emosi yang membabi-buta.
"Enggak tahu diri amat sih jadi orang. Heh! Sadar dong, lo itu siapa!"
"Memang bukan manusia ini sih kayaknya. Enggak punya hati."
"Apa? Mengungkap kebenaran? Justru lo yang penuh kepalsuan."
Puluhan hujatan itu menghujaniku. Namun anehnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Yang kulakukan hanyalah diam dengan tangan terkepal. Batinku terlalu lemah untuk melawan. Berbanding terbalik dengan keyakinan awalku. Ternyata, semua ini terlalu melelahkan.
"Kenapa diam? Takut? Punya ketakutan juga ya rupanya."
"Satu banding seratus. Masih merasa benar? Suara lo aja enggak ada yang mau dengar."
“Makanya, kalo enggak sanggup menyelasaikan, ya enggak usah memulai. Sok-sok-an jadi pahlawan. Padahal mah. Cih. Busuk!
Diriku semakin geram, tapi aku tetap tak bisa melawan. "Kalian... Kalian akan menyesali semua ini!" Kalimat itu keluar dari mulutku bersamaan dengan ayunan langkah kakiku.
Aku berlari. Kukerahkan segala tenaga yang tersisa di tubuhku untuk menjauhi tempat terkutuk itu. Aku tak mau lagi kembali ke sana. Tidak. Bahkan aku tidak mau mengingatnya.
Aku tak menyangka niat baikku ternyata dibalas dengan kecaman, cacian, hinaan, dan sejurus kutukan lainnya. Apa salahku? Aku tidak melakukan satu kesalahan pun. Justru akulah yang menunjukkan kebenaran di sini. Aku yang seharusnya didukung. Bukan aku yang dikepung.
Tanpa arah, aku berlari. Pikiranku berkecamuk. Hatiku bergejolak. Jantungku berpacu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya berlari.
Sesak. Seakan meronta-ronta, pikiranku menayangkan putaran perlakuan kejam dari manusia tak berhati terhadapku. Pukulan, lemparan, tendangan, dan segala hujatan terputar kembali. Membuka luka basah yang bahkan belum sempat mengering. Menyayat-nyayat hati dan pikiranku yang mulai tak jernih lagi. Keruh. Gelap. Sepi.
Aku hanya ingin mengakhiri semua ini.
Ttttiiiinnn!!!!
Sorot lampu kuning menyilaukan mataku. Seperti cahaya yang hendak menuntunku ke jalan yang baru. Aku memejamkan mata. Tuhan, maaf.
"Haraaa!!!"
Kurasakan duniaku berputar. Langit berganti menjadi tanah. Lalu kembali kepada langit. Bertukar tempat antara atas dan bawah. Hingga tubuhku menghantam permukaan air. Lantas terbenam di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Éros: The Magical Blue
Fanfiction"Bbibbidi Bbobbidi Boo" Kau percaya kesaktian mantra itu? Karena aku iya. Sebelum pemantra meracuni keajaibanku...