Aduuuh, pusing. Seperti ada burung yang terbang di atas kepalaku pun kunang-kunang di mataku. Kukerjapkan mata berkali-kali, menyipit lalu melebar.
Dimana ini? Pemandangan sekitar tampak tidak asing. Dinding putih, kasur kayu tingkat, dan selimut merah. Apa aku di asrama? Eii, tidak mungkin. Asrama tidak sesempit ini. Dimanakah aku berada?
Kembali kuedarkan pandangan ke sekitar. Mataku menangkap secarik kertas yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempatku terbaring. Hanya ada beberapa angka yang tertera. Ini apa?
Aku mencoba bangkit, kemudian berjalan ke luar ruangan.
"Ahgassi!" seseorang menegurku. "Sudah sadar? Bagaimana kondisi Anda? Sudah membaik?"
"Apa yang terjadi?"
"Anda tidak ingat? Tadi Anda jatuh pingsan." Oke, ingatanku mulai kembali. "Untunglah ada lelaki yang berbaik hati menggendong Anda menuju ruang kesehatan."
"Lelaki? Siapa? Jangan bilang..." Niel?
"Saya kurang tahu. Tadi saya cukup panik sehingga tidak melihat wajahnya. Yang saya ingat, dia menggendong Anda kemudian menitipkan secarik kertas. Kertasnya sudah saya taruh di atas meja."
"Oh iya, kertas ini. Apa ini?"
"Saya rasa, itu nomor teleponnya. Coba saja Anda hubungi."
"Benar." Eh, tunggu. "Mana ponselku?"
"Ini ponsel Anda. Lelaki tadi menyuruh saya untuk mengisi dayanya. Sepertinya, tadi ponsel Anda kehabisan daya sehingga tidak bisa dinyalakan. Sekarang sudah terisi penuh."
"Terima kasih." Aku mengambil ponselku. Miris, banyak retakan di layar akibat kekejaman manusia yang menginjak-injaknya tadi. Kucoba menyalakan ponselku. Hal selanjutnya adalah hal yang paling tidak kuharapkan. Ia tidak mau hidup kembali.
Aku mencoba menghidupkan kembali, tapi masih saja ponselku tak bergeming. Gelap, tiada tanda kehidupan. Seperti keadaan di luar yang mulai meredup. "Oh iya, sekarang pukul berapa ya?"
"Sudah pukul 11.00."
"Ne? Jjinjjaro?"
"Ne. Anda pingsan sekitar satu jam lebih. Sekarang hampir tengah malam."
Hampir tengah malam? Oh tidak! Asramaku sudah hampir tertutup rapat!
Segera aku melangkah ke luar bandara. Satu jam lagi asramaku tertutup dan perjalanan memakan sekitar satu jam lamanya, atau bahkan lebih. Tidak mungkin aku memilih kereta atau bus. Hanya ada satu pilihan.
"Taxi!"
°°°"80.000 won."
Gulp!
Aku hanya bisa menelan ludah melihat lembaran indah milikku melayang menuju tangan orang lain. Mahal sekali. Aku bisa membeli berbungkus-bungkus ramyeon dengan uang segitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Éros: The Magical Blue
Fanfic"Bbibbidi Bbobbidi Boo" Kau percaya kesaktian mantra itu? Karena aku iya. Sebelum pemantra meracuni keajaibanku...