Bagian 1

24.6K 1.2K 48
                                    

Meghan memutus benang dengan giginya, memperhatikan lagi gaun malam yang telah selesai ia perbaiki. Gaun itu berwarna biru gelap dengan aksen manik-manik di bagian leher, sekaligus menjadi gaun bagus terakhir yang ia punya. Meghan tidak punya waktu---dan uang---untuk membeli gaun baru. Meskipun acara malam ini begitu penting---karena berkaitan dengan keberuntungannya---Meghan terpaksa memakai gaun lama yang tersimpan di lemarinya. Meghan hampir bosan mengeluhkan keadannya yang sekarang. Kehilangan kedua orangtua, kehilangan rumah, Meghan bahkan nyaris kehilangan harapan dalam hidupnya. Yang tersisa hanyalah dia dan Teresya. Tere membantunya mengenakan gaun itu.

Tere memiliki tinggi 170 dan berambut hitam. Tere mirip sekali dengan ayahnya. Sedangkan Meghan berperawakan mungil, rambut pirang dan bermata bulat, dia mirip ibunya. Tere mengambil sisir, mulai membantu kakaknya merapikan rambut.

"David tadi pagi datang," ujarnya sembari menarik rambut Meghan ke satu sisi, pandangannya bergantian antara wajah kakaknya di cermin dan rambut yang tengah ia pegang. "Dia mencarimu."

David tidak pernah membuat Mehgan senang. Laki-laki itu selalu menggangunya walaupun tak jarang Meghan mengusirnya dengan terang-terangan. David seorang duda, perangainya buruk. Meghan pernah diberitahu kalau David sering memukul mantan istrinya. David pernah melamar Meghan tapi ia menolak. David boleh saja memiliki harta yang banyak namun Meghan tidak menginginkan pria kasar menjadi teman hidupnya.

"Kaubilang apa padanya?" tanya Meghan, berharap David tidak melanjutkan keinginan untuk memperistri dirinya.

"Kubilang kau sedang ke pasar. Kau memang sedang ke pasar, kak. Kukatakan agar dia datang lagi nanti."

Meghan menghela napas, adiknya terlalu polos. Tere berusia 17 tapi lebih sering bersikap seperti anak 10 tahun. "Lain kali kalau dia datang tidak usah dibukakan pintu."

"Itu tidak sopan namanya," seru Tere tidak setuju.

"David tidak peduli pada kesopanan, jadi lakukan saja apa yang kukatakan."

"Setiap David datang dia mencarimu, kupikir dia menyukaimu, kak."

"Dia pernah memintaku menjadi istrinya." Mendengar hal itu mata Tere membesar. "Aku menolaknya."

"Kenapa?" Tere tampak tidak percaya. "David tampan. Mobilnya bagus."

"Tapi pikirannya tidak bagus," ujar Meghan ketus. Bibir Tere cemberut. "Cepatlah sedikit, atau aku akan terlambat. Aku tidak boleh terlambat kalau tak ingin kehilangan pria potensial. Satu bulan aku menunggu untuk malam ini, aku tidak boleh gagal. Bisa tidaknya kita membayar biaya ujian kelulusanmu tergantung pada keberhasilanku malam ini."

"Aku tidak menyukai rencanamu, kak!" tutur Tere. Ia hampir selesai menata rambut Meghan, membentuknya menjadi gulungan kecil di puncak kepala. Di setiap sisi wajah Meghan ia meninggalkan seuntai rambut yang menggantung indah. Tere pandai menata rambut sekaligus merias wajah, itu keahliannya.

"Aku juga, sayang." Meghan berdiri dari kursinya, tampak puas dengan pekerjaan tangan adiknya. "Tapi kita tidak punya pilihan."

"Aku tidak usah kuliah, kak. Selesai lulus SMA aku bisa mencari pekerjaan. Orangtua temanku punya rumah makan, aku bisa bekerja di sana. Aku sudah bilang padanya."

"Lalu uang untuk membayar ujianmu? Kita sudah tidak punya apa-apa untuk di jual." Semuanya habis untuk biaya perobatan ayahnya, yang pada akhirnya harus meninggalkan mereka juga. Seusai ayahnya pergi, ibunya pun sakit dan meninggalkan mereka seperti ayahnya. "Bahkan tempat tinggal kita harus menyewa, Tere." Meghan meremas kedua tangan adiknya. "Percaya padaku semua akan baik-baik saja."

Tere menggeleng, tahu kakaknya tidak akan berubah pikiran. "Sebelum pergi makanlah dulu. Tadi aku memasak."

Meghan tersenyum. "Di sana pasti banyak makanan. Kau mau kubawakan? Aku bisa menyelinap dan mengambil makanan tanpa seorang pun tahu."

Meghan (Playstore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang