Bagian 8

9.8K 1.2K 74
                                    

Malam ini Meghan mengajak Tere makan di luar. Sudah lama---sejak kematian kedua orangtuanya---mereka tidak bersenang-senang. Setelah makan malam Meghan akan mengajak Tere menonton bioskop. Kalau masih ada waktu, Meghan sekaligus membawanya karokean. Meghan tahu Tere suka menyanyi.

"Pesan apapun yang kau suka," ujarnya pada Tere yang malam ini mengikat ekor kuda rambutnya yang panjang. Tere mengenakan kemeja dan celana jeans panjang. Berbeda dengan Meghan yang mengenakan gaun pink strobery. Gaunnya tersebut mampu membuatnya terlihat seumuran dengan Tere.

Meghan memperhatikan menu. Agak bingung memilih makanan yang ingin dipesannya, karena semua yang ada di daftar menu menggugah selera. Tidak mungkin dia memesan semuanya.

"Kita makan di tempat lain lain saja, kak." Tere hanya membuka buku menunya sebentar lalu menutupnya kembali. Dia lebih sering melirik ke sekitar restoran tersebut. Entah apa yang diperhatikannya.

"Kenapa?" Meghan ikut memandangi ke sekeliling juga. Restoran itu memang sangat padat. "Ada seseorang yang membuatmu tidak nyaman?" Tere menggeleng. "Kau tidak suka makanannya?" Tempat itu ramai karena makanannya yang terkenal enak. Jadi Meghan sedikit bingung adiknya ingin ke restoran lain.

"Makanannya mahal-mahal," kata Tere dengan nada pelan. "Kita kan sedang menghemat, kak. Kenapa kakak malah membawaku ke sini?"

Meghan meringis dalam hati. Dulu mereka sering makan di tempat mahal, Tere menyukainya. Sekarang karena keadaan telah berubah, Tere jadi sungkan melakukannya. Meghan merasa bersalah untuk apa yang dirasakan adiknya. Meghan tidak seharusnya begitu karena semua yang terjadi bukan salahnya, tapi tetap saja dia merasa seperti itu.

Meghan berencana memberitahu pada Tere soal niatnya menjual rumah yang di desa malam ini. Rumah itu sudah digadaikan dan tidak ada yang menghuninya. Menurut Meghan lebih baik rumah itu dijual, lalu uang hasil penjualannya digunakan untuk menutupi hutang-hutang orangtuanya. Supaya mereka tidak dibebankan membayar hutang tiap bulannya. Dan semoga ada sisanya, Meghan berkeinginan membeli rumah kecil di kota untuk ditinggalinya bersama Tere.

Tapi melihat Tere saat ini, Meghan jadi tidak sampai hati. Rumah itu peninggalan orangtuanya yang tersisa. Jika itu dijual juga, semuanya habis sudah. Tere pasti semakin sedih. Meghan tak ingin hal itu terjadi.

"Tidak usah pikirkan harganya," Meghan meyakinkan Tere, yang mana tidaklah mudah. Karena meski masih muda, Tere mengerti bagaimana keadaan mereka sekarang. "Aku punya uang. Lagipula sudah lama kita tidak makan di luar."

"Tapi, kak---"

"---sudah pesan saja. Aku lapar sekali. Aku tidak tahan kalau harus berpindah tempat."

Meghan memanggil pelayan. Pelayan tersebut agak kurang fokus pada awalnya. Meghan sampak melirik gaunnya, siapa tahu ada yang salah. Pria itu berdehem sekali lalu menanyakan pesanan mereka. Akhirnya Meghan dan Tere menyebutkan pesanannya.

"Bagaimana kuliahmu?" Tere baru masuk kuliah. Meghan bersyukur bisa membayar semua keperluan kelulusan SMA Tere. Hingga memasuki kuliahpun, biaya untuk Tere tidaklah sedikit. Meghan tidak mau mengeluh pada Tere. Meghan ingin adiknya itu bisa lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Karena jika sedikit saja Tere melihat Meghan tampak kesusahan, adiknya itu akan terus memikirkannya.

"Tere senang kuliah di sana, kak," jawab Tere. "Dosen-dosennya ramah-ramah."

"Kau punya teman baru?"

Tere mengangguk. "Namanya Serly."

"Sejurusan denganmu?"

"Iya, kak."

"Bagus lah," Meghan tidak ingin Tere sepertinya. Apapun akan ia lakukan agar Tere tidak ketinggalan dari teman-temannya. "Bagus-bagus belajar."

"Iya, kak."

Meghan (Playstore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang