PANGERAN YANG TERSIAKAN 3

7.7K 313 10
                                    

🍁🍁🍁

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur."

"Bagaimana para saksi, sah?"

"Saaah."

"Alhamdulillahi rabbil alamiin. Barakallahu lakuma wabaraka alaykuma wa jama'a baynakuma filkhayr."

Sayup-sayup do'a terdengar menggema di setiap sudut masjid. Para tamu undangan mengamini dengan khusyuk doa para kiyai dan sesepuh yang terdegar syahdu. Semua orang tersenyum renyah mendengar keindahan bacaan surah Ar-Rahman sebagai mahar yang dilantunkan oleh Aufar, dokter spesialis jantung yang baru saja mengorbankan dirinya menjadi pria pengganti itu.

Bukan hanya lihai dalam membius tubuh para pasien. Pria berparas tampan itu juga lihai dalam membius hati para undangan dengan suaranya yang merdu. Setiap yang mendengar suaranya seolah terhanyut dan meresapi makna demi makna bacaan yang sedang dibacanya.

Usai akad diucapkan. Aufar mengikuti bimbingan panitia untuk menaiki pelaminan yang disediakan di luar masjid. Di sana, ia melihat sang istri duduk di pelaminan bak sebuah patung. Tak ada suara, tak ada senyum merona, hanya tatapan kosong yang terpancar dari matanya.

"Aina!?" Panggil Aufar lirih. Pasrah. Gadis itu sama sekali tidak memberikan respon. Ia hanya melirik tanpa sedikitpun sudi menoleh pada sosok pangeran yang telah menyelamatkan nasib pernikahannya. Gadis itu seolah alpa. Ia ada namun jiwanya hilang entah ke mana. Serangkaian sesi pemotretan dijalani. Keduanya kompak mengikuti arahan kameramen dan tukang rias pengantin untuk melakukan beberapa pemotretan. Tapi keduanya seolah air dan minyak dalam satu wadah. Menyatu raganya namun terpisah jiwanya.

Keindahan suara rebana, keelokan bunga-bunga, sorak kang-kang dan mbak-mbak santri yang menggema, semarak lampu yang menyala-nyala seolah tak membuat keduanya bahagia. Pernikahan itu terjadi di luar logika. Keduanya hanya sedang bermain peran. Demi menjaga kehormatan keluarga besar.

Malam semakin larut. Rangkaian acara demi acara telah dilangsungkan. Para ulama dan sesepuh yang turut mendoakan kebaikan bagi keduanya undur diri untuk pulang. Deretan tamu undangan yang sejak tadi mengucapkan selamat pada kedua mempelai sudah tidak terlihat lagi jejaknya. Semua orang kembali ke rumah masing-masing. Tak terkecuali keluarga mempelai yang juga ikut kembali ke rumah.

Sekembalinya ke rumah, Nyai Khadijah, wanita paruh baya yang baru saja mendapatkan menantu baru itu mengajak empat putri serta lima menantunya berkumpul di ruang tengah. Mereka semua tersenyum bahagia karena masalah yang baru saja menimpa keluarga mereka mampu dilewati dengan sempurna.

Nyai Khadijah menatap menantunya itu lekat-lekat. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa dokter muda yang baru saja ditemuinya itu mau menolong nasib pernikahan putrinya. Ia tidak henti-hentinya tersenyum sambil mengucap syukur atas pertolongan Allah yang datang tanpa disangka-sangka.

"Sebenarnya, koe ini siapa, Le? Dari mana asalmu dan siapa orang tuamu?" Perempuan paruh baya itu membuka suara.

"Maaf ya, Le. Kalau kami sudah merepotkanmu dengan adanya kejadian yang tak terduga ini. Kami benar-benar tidak menyangka bahwa Thufail, calon menantu saya akan seperti itu. Uhuk, uhuk!" Nyai Khadijah memegangi dadanya. Suara napasnya terdengar sesak membuat semua orang yang melihatnya seolah cemas.

Aufar mendekat. Ia menatap ibu mertuanya lekat-lekat, sambil lalu menggenggam tangannya erat.

"Sebenarnya, panjenengan tau siapa saya," Nyai Khadijah terperangah mendengar tuturan menantu barunya itu. Demikian pula keempat putri dan menantunya yang tak kalah terkejut saat mendengarnya.

"Maksudmu, Le?"

"Sebenarnya saya.. saya Aufar. Apa Binda Khadijah masih ingat saya?"

"Aufar?"

LIMA BIDADARI YANG TERUSIRWhere stories live. Discover now