🍁🍁🍁
"Antarkan dulu saya ke rumah. Saya mau pulang," ucapnya, saat pertama kali mobilku keluar gapura padepokan Kiyai Nahrawi.
"Loh, kenapa?"
"Ummi hanya memerintahkan saya untuk ngantar undangan. Bukan nymbangi orang sakit."
"Terus?"
"Ya saya mau pulang, sekarang."
"Gak bisa."
"Kenapa?"
"Kita berangkat bersama. Pulangnya ya harus bersama. Saya hanya ingin mengikuti sunnah Rasulullah, salahkah? Dulu, saat beliau sedang bersama Sayyidah Shafiyah di masjid dan istrinya hendak pulang. Rasulullah bilang ; La ta'jaly hatta ansharifa ma'aki (Jangan terburu-buru agar aku bisa pulang bersamamu)! " Aku menatap Aina yang saat itu juga menatapku. Tak lama ia memalingkan muka.
"Saya minta antar ke rumah. Panjenengan ikut juga, kan? Apa itu bukan pulang bersama namanya?"
"Ya, bedalah. Habis ngantar kamu saya pergi lagi. Itu namanya jelas bukan kebersamaan."
"Huft," Aina mendengus kesal.
Aku hanya mampu menyembunyikan senyumku saat melihat dia ngerundel sendirian. Sepertinya aku berhasil membuat dia banyak bicara saat kami hanya berdua seperti ini. Biasanya kalau di rumah, dia banyak diam. Bahkan dia seolah menganggapku tak ada.
"Saya gak punya waktu banyak buat mutar balik. Ada yang membutuhkan pertolongan saya. Kamu kenapa jadi antipati gini? Bukannya dulu kamu berhasil ngebantu belasan pasien yang terpuruk, sampai mereka bisa bangkit lagi. Tapi kenapa sekarang.." Aina terlihat menunduk, sepertinya ia mulai mengingat-ingat pengalamannya selama berada di rumah sakit tempatku dulu bertugas.
"Saya bukannya antipati. Tapi saya cuma mau pulang sebentar, selepas itu njenengan bisa pergi lagi."
"Gak bisa. Saya gak mau ngobatin orang itu kalau kamu gak ikut," jawabku tegas.
"Astaghfirullahal adzim." Aina menyandarkan tubuhnya pasrah. Tangannya meremas-remas seat-belt yang melindungi tubuhnya.
"Saya tadi sudah terlajur bilang sama si Damar, kalau saya ada di luar sama kamu. Gak enak kan, kalau udah sampai sana, ternyata kamu gak ada. Lagian ini tu Damar yang minta tolong. Kamu tahu Damar kan? dia loh yang jadi saksi pernikahan kita waktu itu. Dia udah bantu kita. Masa pas dia kepepet kita gak bantu dia." Aku menatap penuh ke arah Aina. Gadis itu hanya menunduk tidak sedikitpun ingin berbagi pandang denganku.
Ah, lagi-lagi aku terabaikan. Aina memang sama sekali tidak tertarik padaku. Mungkin hanya aku yang terlalu gede rasa sudah pernah mengira dia menyukaiku saat di rumah sakit dulu. Aku juga hampir kegeeran tadi, saat Aina membawa selimut keluar kamar. Aku kira itu untukku. Seharusnya aku tidak berharap banyak supaya tidak sekecewa ini.
Jurus yang diberikan Wajdie tidak semuanya ampuh. Meski begitu, ada beberapa perubahan pada sikap Aina. Dia jadi lebih banyak bicara. Biar saja dia marah atau merajuk, yang penting di tidak mendiamiku seolah aku hanya seonggok batu.
🍁🍁🍁
"Mari silahkan masuk, Gus Dokter!" Seorang pria berkumis tebal dengan sigap mempersilahkan Aufar masuk ke dalam sebuah ruangan, di mana putranya sedang terbaring lemas.
Terlihat pemuda berusia dua puluh tahunan tidur di atas ranjang dengan selang infus di tangan. Tubuhnya kurus kering tinggal tulang. Matanya terlihat kosong. Rambutnya aut-autan. Wajah tampannya seolah tertutupi penampilan fisiknya yang terlihat tak karuan.
YOU ARE READING
LIMA BIDADARI YANG TERUSIR
General FictionKau tahu di mana para bidadari seharusnya tinggal? Di Syurga, bukan? Di tempat indah nan suci. Di tempat aman dan terlindungi. Di atas nirwana, di mana para malaikatpun ikut tergelak karena bahagia. Akan tetapi, apakah engkau tahu apa yang menjadi p...