***
Dia menggenggam tanganku, menatapku dengan kedua bola matanya yang sendu, lalu membisikkan kata maaf. Dia juga memelukku bahkan di depan semua orang. Entah apa yang ada di benak pria itu.
Sesaat setelah mengobati Farrel, wajahnya menjadi sendu. Kedua bola matanya terlihat mengembun seolah ada sesuatu yang ia tahan. Tapi, aku tidak tahu, apa itu?
Jujur, tadi aku sempat khawatir dan cemas saat kemampuannya dipertaruhkan. Akan ada puluhan dokter yang dikeluarkan dari rumah sakit Al-Qanun kalau sampai dia gagal mengobati anak direktur utama itu. Tapi, Alhamdulillah, dia bisa melewati semuanya tanpa celah. Dia masih Aufar Rikza As-Shahab yang dulu. Saat di rumah sakit As-Syifa, dia juga dikenal sebagai pakar jiwa. Jadi, meski dia adalah dokter kardiolog/jantung, tapi banyak juga para dokter yang memintanya untuk sekedar memberikan soft-therapy pada beberapa pasien di rumah sakit.
Dan aku, adalah salah satu orang yang dipilih oleh Dokter Fardini untuk ikut memberikan soft therapy dan motivasi pada para penderita sakit jantung, juga anak-anak yang terkena kanker. Karena pada saat itu, aku telah mampu meluluhkan seorang anak penderita kanker sekaligus penyandang autis yang sedang mengamuk di rumah sakit As-Syifa. Bahkan, ketika semua orang tidak bisa meluluhkannya.
Dokter jantung itu, dia sempat ikut membantuku meluluhkan anak itu. Dan kami berhasil. Sejak saat itu, kekagumanku pada pria itu tumbuh. Jelas ada nilai plus ketika seorang dokter terlahir dari keluarga Kiyai. Karena ia bisa mengobati penyakit seseorang dari luar maupun dari dalam. Bukan hanya perihal raga yang membutuhkan perawatan medis, namun juga perihal hati dan jiwa yang membutuhkan percikan-percikan embun kekuatan dan keimanan.
Tapi, sehebat apapun dia. Sepandai apapun dia. Dia tidak akan pernah bisa mengobati sakit di hatiku. Tidak akan pernah. Bukan mudah buatku untuk menghapus semuanya. Membersamai dia hingga hari ini hanya bentuk formalitas yang tidak akan selamanya aku lakukan.
Aku bangga. Aku kagum. Tapi kekagumanku bukan untuk kuteruskan menjadi cinta. Karena aku tahu, dia hanya datang untuk sekedar bertamu bukan untuk selamanya bertemu.
***
Flash back..
"Loooove!" Dokter Fardini Sabillah menjepitkan sesuatu di jilbab Aina. Sebuah pita pink berbentuk hati yang menjadi simbol peduli kanker itu tersemat rapi di sisi jilbab Aina yang saat ini mendadak jadi asistennya itu.
"Ada apa ini, Dok?"
"Ini tanda bahwa kita peduli kanker, Aina. Kamu juga harus memakainya. Ini bagi-bagikan juga sama yang lainnya."
"Sekarang hari kanker sedunia, Dok?"
"Yupz, you are right! Emangnya gak dikasih kabar kalau hari ini ada seminar buat penderita kanker?"
"Saya tidak tahu kabarnya, Dok. Soalnya dalam minggu ini, saya lebih banyak di kampus dari pada di RS. Maklum, kejar setor tugas akhir. Haha."
"Hmmh, andai aja kamu gak sibuk. Pasti saya rekrut kamu jadi pembicara juga sama seperti si Dokter Aufar."
"Em, maaf. Pembicara apa ya, Dok?"
"Ya, pembicara buat ngisi seminarlah."
"Tapikan saya bukan dokter, Dok. Saya hanya hanya seorang mahasiswi pendidikan yang sedang beruntung bisa berkecimpung di sini, karena jasa Dokter Fardini juga."
"But you deserve to get it, Aina. Kamu layak memberikan motivasi-motivasi untuk mereka." Dokter Fardini menatap Aina dengan senyum bangga.
"Tapi, ketika pemutusan siapa yang akan menjadi pembicara kemarin, kamu malah sibuk. Ponsel kamu juga tidak aktif. Sementara Direktur rumah sakit As-Syifa sudah mendesak saya. Jadi ya terpaksa saya hanya ngelist nama Dokter Aufar sebagai pembicara. Dan saya sangat sedih karena jagoan saya tidak bisa ikut berpartisipasi."
"Ah, Dokter bisa saja." Aina tersenyum sipu sambil menunduk. Ia merasa malu karena Dokter Fardini sedang memujinya.
"Oh, iya. Boleh saya minta tolong, Na?"
"Iya, Dok? Apa yang bisa saya bantu?"
"Tolong sekarang juga ke Aula. Mintakan tanda tangan Gus Aufar di sini ya. Saya harus melihat pasien dulu soalnya."
"Tapi, ini buat apa, Dok?"
"Ini berkas MoU antara rumah sakit As-Syifa dan Rumah sakit Permata. Kamu minta tanda tangan Dokter Aufar segera, ya! Nanti antarkan berkas ini pada saya di Lab. Maaf sudah merepotkan, Aina." Dokter Fardini buru-buru. Wanita cantik, berwajah keibuan itu segera meninggalkan Aina yang masih betah menatapnya.
Aina segera berbalik menuju raung Auditorium. Di sana, ia melihat Aufar yang sedang duduk di atas panggung bersama seorang moderator.
"Ada apa, Mbak?" seorang panitia yang merupakan seorang perawat menyapa Aina.
"Dokter Fardini minta saya buat ngasih ini sama Dokter Aufar, Mbak."
"Oh sini, saya lihat dulu." Perawat itu memeriksa berkas yang Aina bawa.
"Wah, harus segera ditanda tangani ini. Mbak langsung aja naik ke atas panggung, ga papa. Dokter Aufar pasti ngerti."
"Naik?"
"Iya gak apa-apa mupung masih pembacaan CV, belum ke inti."
"Apa gak bisa, kalau Mbaknya saja yang ke sana?"
"Wah, gak berai saya. Soalnya, saya bukan orang pertama yang diminta, Mbak. Saya takut salah. Dokter Fardini itu orangnya gak sembarangan minta tolong sama orang lain loh, Mbak?"
"Begitu, ya? Hm, baiklah saya ke sana."
Dengan penuh keyakinan, Aina berusaha untuk naik disela-sela pembacaan CV yang sedang dibacakan moderator.
"Ada yang bisa saya bantu?" ucapnya, saat pertama kali Aina menyodorkan Map hijau berisi MoU dari Dokter Fardini. Aina membuka dan menunjukkan bagian-bagian mana saja dalam berkas itu yang harus Aufar tanda tangani.
"Dan inilah seseorang yang tidak asing lagi buat kita. Beliau adalah salah satu Dokter kita sekaligus motivator kita, Gus Aufa Rikza As-Shahab. Hal yang perlu bapak ibu ketahui bahwa Dokter tampan ini sebenarnya berdarah Madura. Beliau putra dari R.K.H Ilyas Alawi, pengasuh pondok pesantren Al-Karomah Tanah Merah pulau Madura. Boleh tepuk tangannya Bapak-Bapak, Ibu-Ibu!"
Ruangan besar itupun riuh penuh dengan tepuk tangan yang membahana, memecah langit-langit Auditorium yang tinggi.
Aina terbelalak saat mendengar suara moderator yang sedang memperkenalkan Aufar pada para penonton. Tangan kanannya yang sedang menunjukkan posisi tanda tangan pada Aufar mendadak gemetar. Aina tidak bisa menahan luapan kekagetannya, seiring dengan gejala Traumatic syndrome-nya yang mulai kambuh.
"Kenapa?" Batin Aufar dalam diamnya. Pria itu melihat Aina sekilas sebelum akhirnya lanjut menandatangani berkas itu.
Aina menutup mulutnya. Gadis itu menahan air mata. Dadanya tiba-tiba sesak, kedua tangannya seketika terkepal kuat-kuat.
Aufar kembali menoleh saat melihat sesuatu jatuh. Pita berwarna pink pucat milik Aina jatuh dari genggamannya.
"Pitanya jatuh." Aufar mengambil pita itu dan memberikannya pada Aina. Sementara matanya masih menunduk. Pria itu merapikan map dengan tangan kirinya.
Aina tidak menggubris. Ia segera mengambil berkas yang sudah Aufar tanda tangani dan beranjak turun dari panggung.
Tak ada satupun orang yang curiga. Tersebab, semua mata seolah terpesona pada serentetan kalimat yang sedang moderator sajikan perihal kehidupan Dokter Kardiolog yang sangat dielu-elukan itu.
Aufar tercenung melihat sikap gadis itu. Ia menatap langkah Aina yang setengah berlari. Pria itu lantas segera mengalihkan pandangan, karena sang moderator sudah menyodorkannya sebuah mikrofon.
Pria itu tidak tahu, bahwa tatapannya barusan akan menjadi tatapannya yang terakhir. Karena sejak saat itu, Aina tidak pernah terlihat lagi. Baik di kampus ataupun di rumah sakit yang biasa ia kunjungi.
BERSAMBUNG..
Author ingin tanya nih.
Kalian, jika ada di posisi Ning Aina akan melakukan hal yang sama atau justru sebaliknya? :)
Berikan alasannya ya.. :)
YOU ARE READING
LIMA BIDADARI YANG TERUSIR
General FictionKau tahu di mana para bidadari seharusnya tinggal? Di Syurga, bukan? Di tempat indah nan suci. Di tempat aman dan terlindungi. Di atas nirwana, di mana para malaikatpun ikut tergelak karena bahagia. Akan tetapi, apakah engkau tahu apa yang menjadi p...