***
"Tumben Ning Arjuna sepakat memenangkan keluarga Korawa?" celetuk adikku Zila. Ia tersenyum geli sambil meraih jus alpukat dari Mbak-Mbak santri.
"Kenapa? Tidak terima tah?" tanyaku polos.
"Haha, biasanya Yunda kontra terus sama dia. Tumben hari ini damai? Apa sejak Icank suka tidur di pangkuan dia, makanya hatimu jadi luluh, Yund?"
"Hahaha. Bisa aja dirimu, Dek. Kita kan udah dewasa. Mbak cuma pengen belajar berdamai seperti Yunda Yumna dan Yunda Husna kok." Aku memalingkan muka berusaha menutupi gejolak hebat di hatiku. Karena sebenarnya, hatiku belum sepenuhnya ikhlas jika harus kembali megingat kenangan pahit yang menimpa keluargaku di masa lalu.
Oh, ya. Namaku Zahrana Faradilla. Aku anak ke tiga dari lima bersaudara. Si Arjuna, versi wanita. Begitu kebanyakan orang memanggilku. Selain karena aku adalah anak ketiga yang itu artinya sama dengan si Arjuna. Mereka juga menganggapku memiliki sisi-sifat Arjuna yang mempesona. Ah, tapi itu hanya menurut mereka saja. Bagiku, aku hanya wanita biasa-biasa saja.
Aku adalah seorang da'iah. Disamping menjadi seorang guru di pesantren Abah.
Diantara saudari-saudariku yang lain, aku dikenal sebagai sosok yang paling strong, alias kuat menghadapi berbagai macam masalah. Aku tipikal orang yang blak-blakan. Tidak suka bertele-tele. Dan paling pantang melihat sebuah kedzoliman. Atau aku akan dengan lantang menyuarakan kebenaran, menghapuskan kejahatan meski aku tahu jiwaku sedang ada dalam keterancaman.Perihal hadirnya Aufar? Kumohon jangan ditanya. Kau tahu bukan, bagaimana rasanya ditampar lalu kemudian orang yang pernah menamparmu datang melenggang masuk ke dalam rumahmu? Bukan mudah. Terlebih, yang ditampar bukan saja fisikku. Tapi batinku, jiwaku, juga masa depanku.
Aufar dan keluarganya tidak pernah tahu, bahwa bibit-bibit sakit bisa menimbulkan dendam yang kelak akan membukit. Mereka tidak pernah tahu bahwa kesakitan yang datang bertubi-tubi namun didiamkan kelak akan menjadi bom waktu yang siap untuk di ledakkan. Mereka juga lupa, bahwa waktu akan terus berputar. Si hina akan merangkak menjadi raja. Dan para raja kelak akan ditenggelamkan singgasananya.
Aku masih mendendam. Itulah kata batinku yang sejujurnya. Meski perlahan-lahan aku buang dan aku lenyapkan. Karena aku tahu, berdosa bagi seseorang yang hantinya terus menerus menyimpan kebencian.
Memaafkan itu pasti. Melupakan itu harga mati. Butuh waktu yang lama untuk menghapus segala macam luka yang menancap di hati. Kebanyakan orang dengan mudah menggores hati orang lain lantas kemudian meminta maaf dengan mudahnya.Mereka tidak pernah tahu bahwa, butuh waktu bertahun-tahun untuk sekedar lupa dan alpa pada luka yang terlanjur menganga. Sakit karena luka jerawat hanya berusia tak lebih dari dua hari, namun bekasnya membuat seseorang malu dan minder bahkan berhari-hari.
Itu hanya sesedarhana luka jerawat di wajah. Lantas bagaimana dengan luka batin yang tidak bisa di hapus dengan mudah?
Aku masih ingat, ketika dulu aku sering digebuki oleh saudara-sauadara sepupu Aufar. Helmi dan Adnan adalah dua dari beberapa sepupunya yang hobi sekali memukuliku juga adik-adikku.
Jika pukulan itu hanya antara anak kecil dan anak kecil lainnya, aku tidak mengapa. Tapi ini berbeda, sebelum mereka memukuliku, mereka terlebih dahulu mengungkit-ungkit tanah milik ayahku. Jelas, ini bukan pertengkaran antara anak kecil yang kehilangan mainannya. Tapi ini adalah pertengkaran orang dewasa yang berusaha mengerahkan anak-anak kecil mereka untuk menebar hasut dan fitnah ini agar semakin menyebar luas ke seluruh pelosok desa.
Aku yang sedikit banyak paham akan status tanah ini berusaha membela sebisanya. Meski, mereka tetap menutup telinga. Bagi mereka ayahku tetap seoarang pencuri tanah yang tidak perlu didengar tutur katanya.
YOU ARE READING
LIMA BIDADARI YANG TERUSIR
General FictionKau tahu di mana para bidadari seharusnya tinggal? Di Syurga, bukan? Di tempat indah nan suci. Di tempat aman dan terlindungi. Di atas nirwana, di mana para malaikatpun ikut tergelak karena bahagia. Akan tetapi, apakah engkau tahu apa yang menjadi p...