🍁🍁🍁
Adakala aku merasa seperti lelaki bodoh dalam keluarga ini. Aku ditolak keras oleh istriku tapi aku bertahan. Aku ditolak keras oleh beberapa iparku, tapi aku diam. Karena ada hal yang lebih penting dari sekedar meluapkan emosi, yaitu cinta. Aku harus mengobati kecamuk batin Aina terlebih dahulu. Aku tidak akan membiarkan dia selamanya terkungkung dalam amarah dan dendam.
Malam ini seperti malam-malam biasa yang senyap dan sepi. Aku melihat Aina duduk bersila di dekat jendela sambil mendekap Al-Quran di dadanya. Bibirnya komat-kamit menderas ayat-ayat Allah tanpa suara. Tubuhnya seolah mandi cahaya rembulan yang mulai mengintip dari sela-sela pohon belimbing wuluh yang menjulang tinggi di dekat sawung belakang. Dia terlihat sangat khusyuk. Matanya sempurna terpejam. Bahkan mungkin dia tidak tahu bahwa aku sudah datang. Aku duduk di belakang. Menatapnya lekat. Tanpa tahu apa yang harus aku lakukan.
Malam ini aku pulang terlambat. Biasanya, dia menungguku untuk shalat. Gadis itu, aku tahu hatinya sangat membenciku. Tapi keadaan membuatnya harus bersandiwara sedemikian rupa. Dia tetap membuatkanku teh. Menyiapkanku sarapan. Menyiapkanku pakaian. Dan menungguku untuk sholat berjamaah. Meski, semua itu dia lakukan tanpa mau berbagi pandang denganku. Meski, segala yang ia siapkan tanpa sekecappun suara yang dia perdengarkan padaku.
Aku tidak tahu seberapa besar lukanya. Aku tidak paham seberapa dalam pedih hatinya. Tapi, aku bisa merasakan, bahwa luka yang dia bawa tidak sederhana. Dan aku sudah bertekad untuk senantiasa setia menjaga serta mengobatinya. Semoga kelak, akan ada keajaiban yang membuat dia luluh dan mau menerimaku seutuhnya.
Jujur. Di saat sepi seperti ini, ingin sekali aku duduk di sampingnya. Lalu kemudian kunikmati sinar rembulan dan desau angin yang menenangkan. Akan aku lelapkan ia dalam pangkuan lantas kukisahkan padanya bagaimana dulu Rasulullah pernah membelah rembulan. Lalu beliau meletakkan keduanya di atas bukit Abu Qubais dan bukit Qaiqa'an. Agar dia tahu, bahwa perpecahan, pertengkaran, persengketaan yang tergambar dalam pecahnya rembulan kelak bisa dipersatukan.
Persis seperti kisahku dannya. Kami sama-sama lahir dari perpecahan dua pesantren. Kami sama-sama tumbuh dari persengkataan yang tak kunjung usai. Tapi satu hal yang aku yakini. Bahwa kelak, segala huru-hara akan reda dengan sendirinya. Kelak, segala konflik berkepanjangan ini akan damai pada waktunya.
Lampu menyala. Aina meletakkan mushafnya di atas meja dekat jendela. Nyaris mushaf itu terbanting jatuh karena dia terkejut melihatku yang sudah duduk di belakang tak jauh dari tempat duduknya. Dia berpaling. Lalu memutar tubuhnya menuju almari besar berisi baju-bajuku. Jemari lentiknya meraih sarung hijau, baju putih dan peci putih yang tergantung pada sebuah hanger berwarna silver. Dia meletakkan bajuku di atas kasur. Seolah menyuruhku segara memakainya namun memakai isyarat tubuh yang tak bisa sempurna kubaca.
Tak lama kemudian, dia sudah menggelar sebuah sajadah di atas karpet merah tak jauh dari tempat tidur. Lalu meletakkan tasbih coklat kaoka tepat di atasnya. Aku melihat dan mendengar setiap inchi langkahnya, gerak tubuhnya, raut wajah datarnya serta degup jantungnya. Terlihat jelas, dia ada dalam keterapksaan. Ilmu dan iman yang bersarang di hatinyalah yang mendorongnya melakukan semua ini padaku. Meski aku tahu tidak sepenuhnya dia ikhlas.
Saat melihatku, napasnya masih menderu kasar. Dadanya mengombak meski ia tutupi dengan hijab perseginya yang lebar. Dan tangannya. Tangan itu terlihat gemetar. Sesekali terkepal. Tapi ia tahan kuat-kuat sambil terus menyiapakan semua keperluanku. Dan aku? Aku hanya bisa diam tanpa tahu apa yang harus aku lakukan.
Ketika mengingat semua permasalahan yang kini aku hadapi. Aku jadi ingin kembali bertemu Syaikh Muhammad Ad-Damashqi. Guru besar kedokteran asal Surakarta yang pernah kujumpai di Damaskus. Ingin kucurahkan semua permasalahan ini, kegamangan ini. Akan kutanyakan bagaimana. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Mendekatinya hanya akan menjadi mata panah yang akan melukainya. Meninggalkannya sama saja dengan merenggut kehidupan ibunya.
YOU ARE READING
LIMA BIDADARI YANG TERUSIR
General FictionKau tahu di mana para bidadari seharusnya tinggal? Di Syurga, bukan? Di tempat indah nan suci. Di tempat aman dan terlindungi. Di atas nirwana, di mana para malaikatpun ikut tergelak karena bahagia. Akan tetapi, apakah engkau tahu apa yang menjadi p...