🍁🍁🍁“Waalaikum salam. Monggo pinarak di dalam Ning, Gus!” Seorang perempuan paruh baya bertubuh gempal tersenyum pada Aina dan Aufar yang sudah cukup lama mematung di depan pintu. Dua orang khadimahnya menyiapkan kursi, membersihkan meja dan meletakkan camilan juga teh hangat yang masih terlihat berasap.
Aina dan Aufar duduk mengikuti saran perempuan paruh baya itu yang tak lain adalah Nyai Ma’idah, istri Kiyai Nahrawi, sahabat dekat Kiyai Nauval Bashari.
Rumah Kiyai Nahrawi terasa sangat sejuk dan wangi. Terlihat beberapa bunga-bunga asli yang mekar di setiap sudut rumah. membuat suasana terasa sangat segar. Aina yang notabene menyukai bunga-bunga duduk tenang sambil melihat-lihat barisan foto kaligrafi yang terpajang di ruang tamu.
“Sudah lama ditunggunya, mulai dari maghrib tadi. Eh, malah baru nyampe kalian ini. Kemana saja toh, Gus, Neng?” Nyai Maidah membuka toples berisi kue kering lalu mempersilahkan Aina dan Aufar untuk mengambilnya.
“Hehe. Ngapunten, Bu Nyai. Tadi kami kehabisan bensin di jalan. Soalnya si penunjuk arahnya malah ketiduran. Jadinya muter-muter tanpa tahu arah. Akhirnya bensinnya habis cuma dibuat muter-muter.” Aufar melirik Aina yang terlihat salah tingkah karena keteledorannya Aufar ceritakan pada Nyai Ma’idah. Aina hanya tersenyum meringis untuk menutupi rasa malunya.
“Elloh, kok yo sampe ketiduran to, Ning? Terlalu jauh ta jarak ndhalem njenengan ke sini? Kan cuma sekitar dua jam-an, Ning?”
“Biasa, Mi. Mobil mahal itu memang bikin ngatuk, karena penumpangnya dibuat senyaman mungkin di dalam. Hehehe,” sambung Kiyai Nahrawi yang baru saja keluar dari kediamannya. Aufar segera menggamit tangannya untuk bersalaman. Lantas keduanya duduk bersamaan.
“Jadi, tadi kalian ke sini naik apa? Kenapa Ning Aina tidak telpon saya? Tau gitu tak jemputno, Ning.”
“Mboten usah, Bu Nyai. Tadi kami jalan kaki ke sini. Kebetulan mogoknya tidak jauh dari sini.”
“Ya Allah, piye iki, Bah. Ning Aina sama Gus e jalan kaki gelap-gelapan tadi, Bah.”
“Tidak apa-apa, Bu Nyai. Kami malah senang bisa jalan-jalan santai di area perbukitan malam-malam seperti ini. Kapan lagi bisa begini. Iya kan, Dik Aina?” Aufar menatap Aina meyakinkan. Aina tersenyum meringis penuh kepura-puraan.
“Manten anyar iku lagi manis-manisnya, Mi. Dalam kondisi apapun, asal bisa barengan berdua yo tetep bahagia. Njih kan, Gus, Ning?”Kiyai Nawawi melempar guyonan menohok pada Aufar dan Aina. Jelas apa yang dikatakan Kiayi Nahrawi berbanding terbalik dengan keadaan mereka berdua pada kenyataannya.
Aufar berusaha menepis dengan mengangguk dan melempar senyuman renyah pada Kiyai Nahrawi dan istrinya. Tak lupa ia menatap Aina seolah ingin menegaskan bahwa keduanya membenarkan perkataan Kiyai Nahrawi.“Duh, beruntung sekali Gus e ini bisa nikah sama Ning Aina. Beliau ini banyak loh, Gus, yang ngelamar. Tapi ternyata kanjeng Gusti Alloh menuliskan takdirnya sama Gus Thufail.”
“Ekheemm,” Kiyai Nahrawi berdehem keras. Seolah memberi kode pada istrinya karena sudah salah sebut nama. Aufar tersenyum sambil menunduk. Terlihat kedua tangannya saling meremas satu sama lain.
“Pangapunten. Nama suami saya Aufar bukan Thufail, Bu Nyai,” Aina menyanggah dengan mantap. Gadis itu menatap Nyai Ma’idah sambil tersenyum. Tangan kirinya menyentuh kedua tangan suaminya yang masih ada dalam katupan. Aufar terkesiap. Ini kali pertama Aina menyentuh tangannya dengan suka rela.
“Duh gusti Alloh. Pangapuntenipun nggih, Gus. Sampai salah sebut nama saya. Maklum nggeh, wong tuwo iku lambene emang suka ngalor ngidul kalo ngomong. Sekali lagi pangapunten, Gus.”
YOU ARE READING
LIMA BIDADARI YANG TERUSIR
General FictionKau tahu di mana para bidadari seharusnya tinggal? Di Syurga, bukan? Di tempat indah nan suci. Di tempat aman dan terlindungi. Di atas nirwana, di mana para malaikatpun ikut tergelak karena bahagia. Akan tetapi, apakah engkau tahu apa yang menjadi p...