***
Aina membuka jendela, terlihat purnama membulat sempurna. Ditatapnya bulatan itu dengan sungguh, seolah ada kisah indah yang tergurat di dalamnya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Tak ada suara pergerakan. Tak ada lagi sayup-sayup nadhom yang dibacakan. Hanya tawa beberapa suara kang-kang khodam yang terdengar di gazebo depan pondok putra. Mereka berjaga sambil lalu berdiskusi perihal agama.
Angin terasa semakin dingin. Aina menutup matanya rapat-rapat. Ia mencoba menikmati desau angin yang dengan lembut menyeka bintik-bintik keringat di keningnya. Sepersekian detik, sekelebat wajah suami serta sederet kisah masa lalunya muncul. Kembali, rahang gadis itu terlihat mengeras. Bahunya naik turun diikuti dadanya yang sesak seolah tak bisa bernapas.
"Bakar.. bakar pesantren itu!"
"Usir kiyai laknat itu dari tanah yang suci ini!"
"Gopal, Gopal, Gopal si pencuri. Gopal si pencuri. Gopal gila, Gopal gila!!!!"
"Dasar kiyai miskin. Mau di jual ke mana anak-anak perawanmu ini, Nauval?!"
"Diaaaaaam!" Aina berteriak sekuat tenaga bersamaan dengan suara halilintar yang menggelegar. Hujan turun deras disertai angin membuat renda jendela bergoyang-goyang mengikuti liukan angin.
"Aina, ada apa? Kamu mimpi?" Aufar merengkuh tubuh Aina yang mengejang.
"Pergi kamu! Pergi dari sini! Pergi!" Aina meronta sekuat tenaga. Gadis itu terus saja memukul-mukul dada suaminya.
"Ssst, Aina. Sadar, Aina, sadar! Kamu kenapa? Astaghfirullah!" Aufar mulai kebingungan melihat istrinya yang seolah sedang bermimpi buruk namun tak juga sadar.
"Jangan ganggu keluargaku lagi! jangan sakiti keluargaku lagi! Sudah cukup! sudah cukup! Aku mohon!" Aina menangis dengan suara parau. Air matanya tumpah kepangkuan suaminya. Mata Aufar berkaca-kaca mendengar igauan Aina yang terdengar menyayat. Ia tidak pernah menyangka bahwa luka Aina terbawa hingga ke alam bawah sadarnya.
"Bahkan dalam tidurpun kamu tidak tenang, istriku?" bisik pria itu dalam hati.
Aufar mengingat sesuatu. Aina akan tenang manakala gadis itu menghirup aroma melati. Pria itu segera meraih laci. Diambilnya satu genggam bunga melati lalu dihirupkannya pada sang istri. Tak lama kemudian, tubuh Aina melemah. Tak ada lagi pergerakan kasar. Napasnyapun sudah kembali tenang. Aufar terlihat menitikkan air mata, sambil memeluk erat tubuh istrinya.
"Maafkan Mas Aufar, Dik. Maafkan keluarga Mas Aufar di masa lalu." Aufar menatap istrinya lekat-lekat seraya merapikan rambut istrinya yang terlihat keluar di beberapa sisi hijabnya. Pria itu bukan saja terpukul, tapi ia juga merasa sakit. Akibat perilaku keluarganya di masa silam, istrinya harus menderita sendirian.
Tok tok tok
Sebuah ketukan dari luar kamar terdengar. Tanpa aba-aba, pintu itupun terbuka.
"Aufar?!"
"Binda Khadijah? Maaf, sebentar!" Aufar kaget bukan main melihat ibu mertuanya itu sudah berada di depan pintu. Dengan segera ia mengangkat tubuh Aina serta menidurkannya di atas ranjang. Tak lupa pria itu menyelimuti istrinya sampai dagu.
Aufar segera menghampiri ibu mertuanya yang sedari tadi berdiri di depan pintu. Pria itu tersenyum sambil lalu mengecup tangan mertuanya seolah tidak sedang terjadi apa-apa.
"Kalian sudah tidur? Tadi binda dengar teriakan dari kamar atas. Makanya binda kesini. Apa kalian baik-baik saja?"
"Em, kami.." Aufar terlihat ragu. Ia menatap istrinya yang sedang lelap.
"Kami baik-baik saja kok, Binda. Dik Aina baru saja tidur dan saya.."
"Kamu belum ganti seragam?"
"Emm, iya. Jadi, jadi tadi Dik Aina minta saya temani dia tidur sebelum saya ganti baju. Katanya dia tidak bisa tidur kalau tidak saya temani."
"Hm, anak itu masih saja kelihatan manjanya," Nyai Khadijah menggeleng-gelengkan kepala sambil lalu menatap putrinya yang sedang lelap di atas ranjang.
"Ya sudah, kalau memang tidak ada apa-apa. Binda pikir asal suara itu dari sini."
"He, iya. Tidak ada apa-apa kok, Binda."
"Tapi, yang binda dengar tadi apa ya kira-kira?"
"Ah, mungkin itu suara santri putra yang takut petir, Binda. Biasanya santri kan kerjaannya teriak-teriakan," Aufar tersenyum penuh kepura-puraan.
"Tapi tadi yang binda dengar suara perempuan," Nyai Khadijah menyelidik dilihatnya kembali putrinya yang sedang nyenyak.
"Mungkin si Anwar, Binda. Suaranya kan mirip seperti perempuan. Haha," Aufar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Hm, iya iya. Bisa jadi. Tapi Aufar, kalau kamu besok ngimami atau kebetulan ngajar kitab di pondok putra, tolong beri tahu mereka untuk tidak teriak-teriakan ya. Binda tadi kaget luar biasa."
"Njih, Binda. Kulo sampaikan pada mereka besok pagi, InsyaAllah."
"Ya, sudah. Titip Aina ya, Le!" Nyai Khadijah tersenyum, lantas berlalu meninggalkan Aufar yang masih mematung di dekat pintu. Pria itu menatap langkah kaki mertuanya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.
"Maafkan saya, Binda. saya terpaksa berbohong!" bisiknya dalam hati.
Setelah yakin Nyai Khadijah turun. Aufar lantas menutup pintu kamarnya perlahan seraya menguncinya rapat-rapat.
Hujan belum juga reda. Demikianpun kecamuk batin pria itu belum sepenuhnya sirna. Ia kemudian mematikan lampu untuk mengurangi kecurigaan orang lain di rumah itu.
Dalam keremangan, Aufar berjalan perlahan mendekati istrinya yang masih terlelap di atas ranjang. Ditatapnya gadis malang itu lekat-lekat. Tiba-tiba ada yang mengombak. Pria itu merasakan kecamuk yang hebat. Rasa kasihan, iba, sayang dan takut menjadi satu. Aufar terisak. Ia merasa sangat bersalah atas apa yang sudah pernah terjadi. Tujuh belas tahun bukan waktu yang sebentar untuk Aina menyimpan kecamuk batin yang tak sederhana.
"Jika dengan membenciku kau bisa bahagia. Maka bencilah aku sesuka hatimu, Aina!"
BERSAMBUNG..
YOU ARE READING
LIMA BIDADARI YANG TERUSIR
Ficción GeneralKau tahu di mana para bidadari seharusnya tinggal? Di Syurga, bukan? Di tempat indah nan suci. Di tempat aman dan terlindungi. Di atas nirwana, di mana para malaikatpun ikut tergelak karena bahagia. Akan tetapi, apakah engkau tahu apa yang menjadi p...