***
Perkenalkan, namaku Ayatul Husna. Tapi saudari-saudari dan para Mbak santri biasa memanggilku Ning Abim. Diambil dari nama Bimasena, salah satu anak Pandu dalam kisah Pandawa. Semua ini karena mereka pikir, aku dan kelima saudariku dianggap memiliki sifat-sifat yang mirip dengan sifat lima Pandawa.
Aku seorang ibu rumah tangga beranak tiga. Selain menjadi guru di pesantren Abah. Aku juga memiliki pesantren kecil sendiri di rumah. Bahasa Arab kupilih menjadi salah satu basis utama. Karena aku dan suamiku sama-sama menyukai Ilmu Nahwu dan Shorrof. Sehingga santri-santri Abah yang ingin fokus pada ilmu Shorrof dan Nahwu bisa datang ke rumahku di waktu-waktu tertentu. Selain itu, aku juga memiliki kursusan jahit. Di mana setiap bulannya menghasilkan karya-karya terbaru yang kemudian langsung bisa dipasarkan di butik adikku sendiri, Zila.
Sejak kecil, aku terbiasa hidup melarat. Hidup dengan banyak tantangan yang tak mudah. Bisa dibilang, perjalanan hidupku adalah yang paling berat dibandingkan dengan perjalanan saudari-saudariku yang lain.
Terlebih saat aku dan keluargaku harus berjuang melawan takdir sebagai korban fitnah dan bullying di masa lalu. Perjuanganku melindungi saudari-saudariku adalah tantangan tersulit. Di mana aku harus berperang dengan sederet manusia yang dianggap suci oleh kebanyakan masyarakat. Namun nyatanya mereka teramat dengki bahkan pada kami yang masih tergolong kaum kerabat.
Dulu, kehidupan tak sementereng hari ini. semua serba susah. Jangankan untuk bersenang-senang, untuk mempertahankan kehidupan saja rasanya sangat sulit untuk dilakukan. Terutama bagi keluargaku yang sejak lama hidup dalam ketertindasan.
Aku hidup di antara para tokoh agama. Namun rasa-rasanya, hidup dengan mereka serupa hidup dalam kubangan neraka. Tak ada aroma syurga atau sekedar angin ma’wa yang terhela di rongga dada.
Mungkin, saat aku bercerita pada setiap orang tentang ketertindasanku juga keluargaku, mereka akan balik menyudutkanku.“Ah, mana mungkin seorang tokoh agama melakukan hal yang seperti itu? Jangan buat fitnah!” Atau mungkin sekedar, “jangan salahkan tokoh agamanya! Salahkan diri kita sendiri yang menyalahi mereka!”
Ya, sekeras apapun aku meyakinkan orang-orang bahwa aku ada dalam ketertindasan. Mereka tidak akan pernah percaya. Tersebab, mereka terlanjur menganggap para tokoh agama itu serupa malaikat dan keluargaku adalah setan-setan laknat.
Tapi, inilah ceritaku. Inilah kisahku. Inilah sejarah dan takdirku. Aku tidak peduli, seberapa banyak orang yang tidak mempercayaiku. Biar kelak Allah yang menjawab semua kebenaran yang kompak ditutup-tutupi itu.“Lagi masak apa, Mbak?” Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Aku menyorotnya. Terlihat pemuda gagah memakai kaos hijau, bersarung hitam dan berpeci putih terseyum padaku.
Dia Aufar, adik ipar baruku. Anak dari salah satu tokoh agama yang pernah memporak-porandakan masa depan keluargaku.
“Ah, iya, Dek. Si Bilqis minta makan tadi. Makanya tak masakin,” jawabku singkat sambil kusunggingkan senyuman termanis untuk menutupi letupan-letupan di dadaku.
Jujur, saat melihat sinar matanya. Aku kembali mengingat kisah tujuh belas tahun silam. Kisah perjuanganku bertahan di atas tanah peninggalan almarhum kakek. Di mana penderitaan tidak henti-hentinya datang.
Tapi, aku berusaha menepisnya. Karena aku sadar, semua telah berlalu. Semua hanya kenangan masa lalu. Meski, sakit itu tetap bertahan seolah membenalu.
“Mau saya bantu, Mbak?”
“Gak usah, Dek. Emangnya cowok bisa masak?”
tanyaku dengan wajah normal seolah aku baik-baik saja berada di dekatnya.“Wah, jangan salah, Mbak. Gini-gini saya juga bisa masak.”
“Yakin?”
“Hahaha. Yakin, Mbak.”
YOU ARE READING
LIMA BIDADARI YANG TERUSIR
General FictionKau tahu di mana para bidadari seharusnya tinggal? Di Syurga, bukan? Di tempat indah nan suci. Di tempat aman dan terlindungi. Di atas nirwana, di mana para malaikatpun ikut tergelak karena bahagia. Akan tetapi, apakah engkau tahu apa yang menjadi p...