🍁🍁🍁
Mataku terbuka. Sayup-sayup murottal di pondok putra mulai menggema di telinga. Ruhku seolah masih separuh perjalanan merasuki ragaku yang terasa sangat letih membuatku seolah linglung. Terlebih saat melihat kamarku sendiri yang seolah berubah. Seprei berwarna merah darah, selimut merah bermotif bunga-bunga, dan..
"Owh," tiba-tiba kakiku terasa sangat sakit. Saat kubuka selimut dan kulihat kaki kiriku, terlihat perban menempel di sana.
"Aku? Bukankah semalam tidur di pojokan kamar? Lalu siapa yang membawaku kesini? Dan selimut ini..?"
"Kamu sudah bangun?" Sebuah suara mengalihkan perhatianku. Dia tersenyum renyah seolah sedang menyambut permaisurinya yang sedang terbaring lemah. Aku reflek berdiri, setelah mengetahui siapa yang datang. Kakiku yang belum sepenuhnya pulih terasa sakit, membuatku hampir terjatuh.
"Mau saya bantu berdiri?" Tanya pria itu dengan wajah cemas, sembari mengulurkan kedua tangannya. Aku kembali duduk berusaha menormalkan tubuhku yang tidak seimbang karena salah satu kakiku yang pincang.
"Subuh sudah dari tadi. Saya disuruh Binda Khadijah ngimami di masjid putra. Jadi kamu sholat munfarid ya! Ayo, saya bantu berdiri!" Aku tetap geming tanpa suara. Tanganku tiba-tiba terasa gemetar. Melihat wajah pria itu membuatku kembali memutar memori masa laluku. Kecamuk pertengkaran kami semalam adalah awal dari semua amarah yang akan aku luapkan pada dia, penghancur keluargaku di masa silam.
"Aina?!" Tatapannya sendu, tapi semua itu tidak akan meluluhkan hatiku.
"Nanti malam panjenengan tidak perlu repot-repot memindahkan saya ke tempat ini. Selama kondisi Ummi belum pulih, dan mengharuskan panjenengan tinggal di sini, maka tempat ini menjadi tempat panjenengan. Dan kasur lipat di pojokan itu adalah tempat saya," ucapku tegas, sembari menatap tajam kearah tembok. Terang saja, aku masih belum sudi menatapnya.
Sekuat tenaga aku mencoba berdiri menuju kamar mandi, meninggalkannya yang masih mematung di sisi tempat tidur. Aku tidak pernah peduli, apakah ia akan marah atau tidak. Aku tidak akan peduli apakah ia akan benci atau tidak. I know, I see but I don't care. Menikah dengannya bukan sesuatu yang aku inginkah. Bagiku, hidup bersama dirinya adalah sesuatu yang menjijikkan.
Jika bukan karena penyakit jantung yang diderita Ummi. Jika bukan karena menjaga nama baik pondok pesantren ini. Jika bukan karena Allah dan kesakralan pernikahan ini. Maka sudah kutinggalkan pria itu hari ini juga. Bagaimanapun aku masih belum bisa menghapus segala tragedi pahit kala itu. Terlalu sakit jika harus kuingat kembali. Terlalu pahit jika harus kukenang kembali. Maka jalan satu-satunya adalah menghapus semua memori-memori itu dari benakku.
Namun bagaimana bisa aku menghapusnya, sementara salah satu dari kenangan pahit itu justru memilihku sebagai penggenap separuh agamanya?
BERSAMBUNG..
Lengkapnya bisa ikuti di Facebook saya inggih.. :)
YOU ARE READING
LIMA BIDADARI YANG TERUSIR
Ficção GeralKau tahu di mana para bidadari seharusnya tinggal? Di Syurga, bukan? Di tempat indah nan suci. Di tempat aman dan terlindungi. Di atas nirwana, di mana para malaikatpun ikut tergelak karena bahagia. Akan tetapi, apakah engkau tahu apa yang menjadi p...