PANGERAN YANG TERSIAKAN 5

6.2K 283 4
                                    

🍁🍁🍁

Aufar menghembuskan napas. Senyum renyahnya seolah terhempas. Gadis itu berlalu begitu saja meninggalkannya yang telah dengan tulus menawarkan bantuan. Kembali pria itu menelan ludah, lalu mengusap wajahnya yang merah dengan kedua tangannya.

"Sabar, Aufar, Sabar! Kamu ini laki-laki. Kamu tidak boleh menyerah begitu saja," desah pria itu dalam hati.

Selang beberapa lama, pintu kamar mandi terbuka. Aufar menatap, mereka saling bersitatap. Aina berpaling membuang muka. Dengan kaki pincang, gadis itu berjalan, tanpa menoleh sedikitpun pada suaminya.

Usai sholat subuh, Aina terlihat meringis. Ia buru-buru membuka mukenah yang ia kenakan karena luka sobek di area kakinya masih terasa perih. Aufar dengan sigap mengambil obat di dalam kotak P3K dalam tasnya, lalu kemudian menghampiri istrinya.

"Kenapa perbannya dibuka?" Senyap, Aina enggan menjawab. Aufar mencoba mendekati istrinya. Ia melihat dengan seksama luka sobekan itu masih merah, meski sudah tak terlihat lagi tetesan darah.

"Jika tidak ditutup, luka ini bisa jadi besar dan infeksi. Sebaiknya kamu.. "

"Dokter tidak perlu memperdulikan saya!" Kedua retina mata Aina tepat menatap kedua mata Aufar, membuat pria itu terhenyak.

"Aina, kalau kamu tidak mau menerima bantuan saya, karena kamu membenci suamimu ini. Maka terimalah bantuan saya sebagaimana saya seorang dokter biasa. Jiwa saya adalah jiwa dokter. Dan saya tidak akan membiarkan siapapun tanpa pengobatan. Apalagi saya tahu, yang luka adalah kamu."

"Ada apa dengan saya?" Aina kembali menatap suaminya tajam.

"Ka.. kamu.."

Krieeet!

Pintu kamar terbuka, sontak membuat keduanya menatap ke arah pintu. Terlihat Nyai Khadijah sedang berdiri sembari menyunggingkan senyuman pada keduanya.

"Aufar, Aina ayo turun, kita makan di bawah!" Ajak Nyai Khadijah sambil lalu melebarkan daun pintu.

"Astaghfirullah, kaki Aina kenapa, Far?" Nyai Khadijah memperhatikan luka sobek di kaki kiri Aina. Sontak membuat keduanya kompak menunduk.

"Em.. Ini, semalam kaki Dik Aina kena besi penyangga, Binda. Soalnya saya lupa mindahinnya. Tapi.. tapi Binda tenang saja. Saya akan obati, nanti juga akan sembuh," Aufar tersenyum getir. Ia melihat ke arah istrinya yang terlihat menunduk. Nyai Khadijah mendekat, seraya duduk diatas ranjang memperhatikan luka pada kaki putri bungsunya itu.

"Ya sudah, Aufar. Ayo obati, Le! Bindanunggu disini sampai selesai, baru kita turun bareng-bareng ke bawah."

"Tapi, Ummi!" Aina terlihat keberatan.

"Wes, koe duduk ae, Nduk. Biar Aufar ngasih perban dulu."

"Mboten nopo-nopo, Ummi. Kulo bisa pasang sendiri."

"Loh jangan, nanti kalau salah pasang bisa infeksi, Nduk!"

"Lukanya hanya kecil, Ummi. Aina bisa pasang sendiri."

"Aina, wes biar Aufar toh yang pasang. Aufar iki loh dokter spesialis, Nduk. De'e pasti lebih tahu caranya!"

"Njih. Baik, Ummi," jawab Aina dengan suara rendah bahkan hampir tidak terdengar oleh siapapun. Pasrah, Aina tidak akan bisa menolak apapun perintah Nyai Khadijah. Dia hanya bisa menunduk mengiayakan perintah wanita paruh baya itu.

Aufar menggamit kaki Aina. Pria itu dengan perlahan memasangkan obat antiseptik menggunakan kapas kemudian memasang perban dan plaster di kaki istrinya. Nyai Khadijah tersenyum melihat ketulusan menantu bungsunya itu. Sepertinya, bukan hanya karena Aufar sedang mengobati luka putrinya. Namun ada hal lain yang wanita itu simpan di lubuk hatinya.

"Alhamdulillah. Sudah," Aufar tersenyum puas melihat perban dikaki istrinya terlihat rapi. Ia melihat ke arah Nyai Khadijah yang juga tersenyum ke arahnya. Pria itu juga melihat istrinya yang masih betah dalam tundukan. Gadis itu tidak berani mengangkat wajahnya. Ia khawatir ibundanya bisa membaca warna hatinya.

"Ya sudah, kalian segera menyusul yang lain di luar. Ummi ke kamar mandi dulu!"

"Injih, Ummi," jawab keduanya serempak. Nyai Khadijah tersenyum lantas bergegas meninggalkan mereka.

Selang beberapa lama, keduanya menuruni tangga menuju meja makan. Dengan sangat terpaksa, Aina mengikuti saran Nyai Khadijah untuk berpegangan pada suaminya. Atau jika tidak, gadis itu akan jatuh karena berjalan agak sedikit pincang.

"Sandiwara dimulai. Saya harap kamu bisa bermain peran dengan baik. Jangan sampai Binda Khadijah kembali kambuh hanya karena melihat hal-hal yang tidak seharusnya beliau lihat!" Aufar mengulurkan tangan kanannya agar digamit istrinya. Aina mengambil napas panjang sebelum akhirnya menerima uluran tangan suaminya. Aufar menyembunyikan senyumnya. Ia mulai mengerti bahwa ternyata kelemahan Aina ada pada ibunya.

"Duh, romantis sekali pengantin baru ini. Keluar kamar saja pegangan tangan," Gus Abdy datang dengan membawa secangkir kopi yang masih terlihat berasap. Disusul Gus Mujib, Gus Rofiq, juga Gus Ahkam yang terlihat cengar cengir menggoda Aufar. "Astaghfirullahaladzim. Aina, kakimu kenapa, Dek?" Zila menarik tubuh Aina. Ia langsung menatap adik iparnya itu dengan tatapan kurang bersahabat.

"Ini adik saya kamu apain, Aufar?" Tanya Zila ketus. Semua orag sontak saling bersitatap.

"Hush, kok nayanya gitu ke Dek Aufar?" Sanggah Yumna.

"Ya kali aja, Yunda. Kejadian tujuh belas tahun yang lalu terulang lagi tadi malem," Zila menatap Aufar tajam. Suasana kembali bisu. Tak ada satu orangpun yang berani membuka suara. Demikianpun Aufar yang lebih memilih diam. Pria itu tidak tahu harus menjawab apa. Jika ia jujur bahwa kaki Aina terluka karena dia berusaha menarik Aina dari jendela, maka tamatlah riwayatnya saat itu juga.

"Ekhem.. Saya ndak apa-apa kok, Yunda. Ini salah saya, semalam saya ndak lihat penyangga TV yang rusak. Makanya saya jalannya sembarangan. Tapi, sudah diobati kok sama Dokter Aufar. Jadi, rasa sakitnya mendingan," jawab Aina datar.

"Dokter?!!" semua orang yang ada di meja makan melihat ke arah Aina.

"Em.. maksud saya Guse. Gus Aufar. Eh, Mas Aufar," Aina terlihat salah tingkah, demikianpun Aufar. Membuat setiap orang saling berpandangan. Aina dan Aufar sama-sama terlihat cemas serta khawatir, kalau-kalau keluarga besarnya tahu bahwa ada pertengkaran hebat malam tadi yang membuat kaki Aina terluka.

Suasana hening, setiap mata saling berpandangan. Keempat saudari Aina seolah meragukan hubungan keduanya baik-baik saja. Mengingat Aina masih mendedam pada luka lamanya. Terlebih Aina menerima pernikahan ini karena terpaksa, sementara Aufar menikahi Aina hanya karena rasa kasihan semata.

"Ekhemm," Zila berdehem keras. Seolah ingin membuyarkan lamunan setiap orang yang ada di depan meja makan.

"Aufar, Aina, tolong jawab pertanyaan kami dengan jujur ya. Sebenarnya, kalian berdua ini..?" Zila menyorot Aufar dan Aina lamat-lamat. Diikuti oleh Zahra, Husna, Yumna serta suami mereka masing-masing. Pertanyaan Zila yang belum sempurna itu sukses membuat Aufar dan Aina salah tingkah. Seolah keduanya tahu kalimat berikutnya. Keduanya saling bersitatap lalu kemudian kompak menunduk mempersiapkan jawaban. Suasana lengang, setiap orang terlihat tegang.

"Loh, kok belum pada dimakan?" Nyai Khadijah tiba-tiba datang membuat ketegangan seketika ambyar. Semua orang segera merapikan posisi tempat duduknya.

"Kalian ini kenapa? Kenapa pada mantengin Aufar dan Aina seperti itu?" Nyai Khadijah menarik kursi paling ujung lalu kemudian duduk sembari menatap setiap orang di meja makan.

"Ah, tidak apa-apa, Ummi. Kami cuma lagi ngegodain si pengantin baru ini. Iya kan?" Gus Ahkam yang memang suka melucu mencoba mencairkan suasana. Semua orang tersenyum meringis penuh kepura-puraan. Mereka berusaha menyembunyikan perasaan dan dugaan mereka masing-masing, bahwa Aufar dan Aina dalam keadaan tidak baik-baik saja.

BERSAMBUNG..

Kira-kira apa ya yang ada di benak saudari-saudari juga kaka Ipar Aina?

Ikuti terus kisahnya ya :)

LIMA BIDADARI YANG TERUSIRWhere stories live. Discover now