Pertama-tama dan teruntuk kamu yang aku singgung, maaf aku tidak akan tanggung. Karena ulahmu dahulu, sekarang aku menanggung dalam senandung yang tak berujung. Pertemuan kita adalah awal dari semua derita, yang aku tanggung sendiri ketika kau memutuskan untuk pergi. Aku tetap disini dengan memegang janji-janji yang telah kau beri, janji-janji ilusi yang hanya berisi kalimat “Aku tidak akan pergi” dan sekarang yang terjadi janji-janji itu sudah tidak lagi berfungsi.
Aku sendiri, kau ditemani
Ketika hari dimana kau memutuskan untuk pergi, dihari itu juga aku flashback semua yang telah terjadi. Awal aku melihatmu di profil Instagram-mu lalu aku direct message-mu dengan tujuan hanya untuk berkenalan, namun malah berkepanjangan dan aku merasa nyaman akhirnya aku memutuskan untuk bertemu denganmu. Hari dimana pertama kali kita bertemu adalah hari yang tak normal bagi detak jantungku, ketika aku melihatmu yang sedang menungguku ditepi jalan sambil menoleh kanan-kiri dengan wajah yang penasaran, dan akupun menghampirinya sambil menatap matanya sembari bertanya “hey kamu, sudah lama kah menunggu?”. Lalu kami pergi meninggalkan tepi jalan, meninggalkan rasa penasaran, menuju ke tempat yang sudah kami janjikan.
Hari itu sangat menyenangkan, yang akhirnya menjadi kenangan.
Terlepas dari pertemuan itu, ponsel yang biasanya jauh dariku akhirnya memutuskan untuk tak lepas dari genggamanku. Memberi kabar setiap waktu, membaca pesan tak ingat waktu, karena hal itu teman-teman menjauh dariku, tapi tak apa aku masih memiliki mu, kataku dihari itu. Hari demi hari berlalu rasanya senang selalu, walau kau hanya membalas singkat pesanku, tapi tak apa bagiku, terima kasih kau masih menghiraukanku.
Aku sadar, aku ceroboh, aku menyesal
meninggalkan sebuah pertemanan, demi satu orang yang akan menjadi kenangan.Maaf kan aku teman karena sudah salah memilih jalan, terima kasih teman karena sudah memaafkan. Itulah teman, seberapa marah dia kepadamu pasti dia akan memaafkanmu. Tidak seperti kamu, ketika aku meminta maaf kepadamu kau selalu berpikir dahulu membuat aku jadi ambigu. ah sialan kamu, mempunyai sifat seperti itu membuatku ragu akan mencintaimu atau meninggalkanmu?. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap mencintaimu, tapi ternyata aku membuat keputusan yang keliru. Tapi tak apa, kau pergi hanya membawa hati dan ragamu, sedangkan tatapan sinismu dan senyumanmu masih tertinggal didalam pikiranku.
Ah sial, pikiranku hanya berisi tentangmu yang membawaku ke jalan yang buntu
Setelah kau pergi tanpa pesan dan kata, yang aku bisa hanya fleshback semua yang terjadi antara kita. Aku ingat ketika kita memutuskan untuk hujan-hujanan padahal kita bisa berteduh sejenak dipinggir jalan, aku memboncengmu, kau memelukku. Bersama-sama kita melewati tetesan air hujan dengan motorku yang melaju kencang, semakin cepat motorku melaju, semakin erat pelukanmu kepadaku. Hari itu, jalan sudirman terasa hanya milik kita berdua walau hujan dan angin juga berada disana, tapi kami berdua tidak menghiraukannya. Maaf kan kami wahai hujan dan angin, walau kalian berdua bersatu menjadi dingin lalu menyerang kami, pelukan kehangatan yang akan melindungi. Hujan mulai reda kami pun merasa gembira. Setelah hujan, datang lah pelangi tapi tidak dilangit melainkan dihati kami.
Pertemuan itu yang sekarang membuat hatiku layu karena rindu