Mereka sampai di rumah Joy lima belas menit kemudian. Halaman rumah yang luas dengan rumput jepang yang menutupinya itu kini beralih fungsi menjadi kos-kosan mengingat lokasinya yang dekat dengan sebuah universitas negeri. Tampak beberapa motor terparkir berjajaran di sana. Terakhir kali Nita diajak Joy ke rumahnya sekitar enam bulan lalu, bangunan kos itu masih dalam proses pembangunan.
Joy memarkir mobilnya di halaman samping rumah yang juga berfungsi sebagai garasi terbuka itu. Saat Joy hendak turun dari mobil, Nita meraih tangan Joy dan menariknya, membuat laki-laki itu menutup pintu kembali dan menatap Nita bingung.
"Kak~~" wajah Nita tampak pucat karena gugup.
Joy tersenyum lembut menatap wajah memelas Nita, "Gapapa, ada aku kok. Kalo kamu takut, kamu deket-deket aku aja terus. Ya?" kata Joy menenangkan.
Nita yang sejenak ragu akhirnya mengangguk pelan.
Sebelum Joy membuka kembali pintu mobil, ia dekatkan wajahnya dan mengecup pelan bibir lembut gadisnya, "I'm with you," bisiknya seraya tersenyum, kemudian menarik bukaan pintu mobil dan turun dari sana.
Nita menghela nafas mencoba menenangkan diri. Pertama karena Joy menciumnya dan berkata dengan begitu lembut, kedua karena kegugupannya hendak bertemu 'calon mertua' nya dalam beberapa menit lagi. Setelah itu ia membuka pintu mobil dan turun dari sana.
Joy tampak dengan barang belanjaan di tangannya berjalan menuju rumahnya dari pintu belakang, sedangkan Nita yang hanya membawa tas kecil di punggungnya dan beberapa kantong plastik kecil mengikuti Joy.
Sampai pintu belakang yang terhubung dengan dapur itu, tampak di sana Fela, adik kedua Joy, sedang mengupas mangga.
"Fel, Mama udah pulang?" panggil Joy, membuat yang dipanggil segera mengangkat kepalanya dan menggeleng pelan.
"Mama pulang jam empat biasanya. Kalo-- loh, Mas Joy sama siapa?" tanya Fela saat melihat sesosok perempuan di belakang Joy.
"Oh ini..." Joy menaruh barang belanjaan di lantai dan merangkul bahu Nita. "Kenalin, calon istri," ucapnya seraya mengangkat sebelah alisnya.
Nita menyikut perut Joy mendengar laki-laki itu mengatakan hal demikian seraya tersenyum tertahan.
Sedangkan Fela tampak berpikir, "Ohh ini mbak yang waktu itu Mas Joy bawa ke rumah ya?" tanya Fela memastikan.
"Yap, baguslah kalo kamu inget,"
Fela pun mendekat dan menyalami Nita.
"Siapa ya namanya? Emm.. Nia? Nisa?"
"Nita, Panitta," koreksi Nita.
"Oh iya, Mbak Nita ya,"
"Yaudah Fel, kamu ke depan sana, aku mau masak dulu,"
"Ihh baru pulang udah ngusir aja," ledek Fela.
"Bodat ah, buruan,"
Tanpa membalas usiran Joy, gadis berusia sebelas tahun itu membawa piring berisi potongan buah mangga yang sudah ia kupas dan berjalan meninggalkan mereka berdua.
Setelah Fela pergi, Nita segera duduk di dipan kayu yang diberi matras lipat itu. Ia rebahkan badannya di sana dan meregangkan tubuhnya.
"Eh, capek ya?" tanya Joy salah tingkah. Sebagai tuan rumah yang baik, harusnya ia suruh tamunya istirahat dulu, kan?
Nita menggeleng, "Sedikit,"
"Istirahat di kamar aja kalo gitu,"
Nita menggeleng lagi, "Mama kan pulang jam empat kata Fela, sedangkan ini udah jam dua. Mending masaknya sekarang aja," saran Nita.
"Bener nih? Tapi muka kamu keliatan banget tuh kalo capek. Kalaupun nanti Mama udah pulang, kan kita bisa masaknya buat makan malam,"
Nita terdiam sejenak, "Yaudah deh. Terus sekarang gimana?""Emm..." Joy juga tampak berpikir. "Ke halaman belakang aja yuk," ajaknya.
Nita hanya mengangguk.
Joy pun melangkah ke arah lemari es di sisi dapur untuk mengambil sekotak besar jus jeruk. Ia bawa pula dua buah gelas dan mulai melangkah ke halaman belakang diikuti Nita. Di sana, mereka duduk di sebuah gazebo.
Halaman belakang rumah Joy tidak seluas halaman depan, namun tampak segar dengan tanaman rambat yang tumbuh di dinding pembatas yang tingginya tiga meter itu, dan sebuah kolam kecil yang berisi beberapa ikan koi. Di sisi lain halaman nampak sebuah gazebo berukuran 4X4m yang terbuat dari bambu berwarna hitam (eh namanya bambu apa ya? Bambu sulur kah? H3h3) dan atap dari daun rumbia, membuatnya nampak kuno namun elegan. Di dalam gazebo itu tersedia pula meja kecil yang juga terbuat dari bambu dan empat buah bantal persegi berwarna coklat lembut bersulam bunga anggrek ungu. Di situlah mereka duduk.
Joy menuangkan jus jeruk itu ke dalam dua gelas yang tadi ia bawa.
"Nih minum," katanya menyodorkan satu gelas kepada Nita.
Nita tersenyum menerimanya, "Thanks, tau banget sih aku lagi haus," katanya langsung meneguk jus itu.
"Kamu nggak gerah apa?" tanya Joy.
"Iya sih, kenapa?"
"Rambut kamu aku iket ya," tawar Joy. Tanpa menunggu ijin dari Nita, laki-laki itu bangkit dan mengumpulkan rambut yang tergerai sebahu itu menjadi satu dalam genggamannya. Ia kemudian meraih karet rambut di pergelangan tangan Nita dan mengikatnya.
"Dah, gini kan seger kalo dilihat," ujar Joy memperhatikan mahakaryanya.
"Apaan sih, malah nggak nyaman dikucir kaya gini, Kak," Nita melepas ikatan rambut buatan Joy dan membenarkannya, membuat laki-laki itu hanya meringis dibuatnya.
Setelah itu tiba-tiba saja Joy berbaring berbantalkan paha Nita yang ia luruskan. Nita hanya tersenyum dan menatap Joy.
"Capek, Pai," ujar Joy seraya balas menatap gadisnya itu.
"Tadi kamu sibuk banget, ya?" tanya Nita seraya menyapu rambut Joy dengan jemarinya.
Joy mengangguk dan memejamkan matanya menikmati belaian lembut gadis itu, "Tadi pagi kan habis dari kamu aku ke Jogja buat nganterin lemari ke kantornya Pak Burhan. Sampe sana aku bantu angkat lemari itu, aku taruh di sana, eh suruh pindah sini. Ternyata tempatnya nggak pas, pindah lagi ke bagian lain, pindah-pindaaah terus. Padahal kamu tau kan kalo kayu jati itu beratnya minta ampun, apalagi ini Pak Burhan pesennya yang premium. Yaudah deh, sampe empat orang yang angkat itu saking beratnya. Terus lagi waktu Pak Burhan tanya sampel ukiran yang mau dia kasih tau ke temennya ternyata lupa aku bawa. Terus aku telpon orang gudang kan, malah gaada yang respon. Yaudah deh aku yang mesti balik buat ambil sampelnya," cerita Joy panjang lebar.
Nita terkekeh geli mendengar nada bicara Joy. Ia sapukan lagi rambut legam itu ke belakang, "Kamu emang belum nemu orang yang buat ngawasi pengiriman macam itu ya?" tanya Nita.
Joy menggeleng, "Susah nyari orang yang pas. Ada sih yang sesuai, tapi kalo mau ngapa-ngapain harus ada tipnya. Ada juga yang lain, ternyata kalo diajak ngomong nggak nyambung. Pernah juga nemu orang yang bener-bener jujur, tapi gapernah keluar kota sebelumnya, jadi gatau daerah-daerah lain. Ribet deh pokoknya kalo mau cari orang,"
"Bukannya kamu bilang udah nemu ya yang cewek itu?" Tanya Pai seraya terus membelai rambut Joy.
"Siapa? Bela? Udah aku pindahin ke bagian administrasi. Ga tega Pai kalo dia harus keluar kota terus, apalagi yang sampe berhari-hari,"
"Oo gitu ya,"
"Iya. Katanya juga Mama mau bantu cariin, tapi kayanya sama aja deh belum nemu,"
"Susah ya, kaya cari jodoh?"
"Ha??" Joy membuka matanya menatap Pai, "Ya enggak lah, kan jodoh aku udah ada di depan mata," ujarnya seraya tersenyum.
"Mulai lagi," gumam Pai seraya membuang muka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Story Never Ending
RomantizmIt's all about Joy. Tentang bagaimana kami bertemu, bagaimana aku dan dia menjadi kita.