Fragmen 17. Au Naturel

7.2K 244 57
                                    

Jangan masukkan cerita ini ke daftar bacaan 18+ ente!

Jangan malu vote dan komen (nulisnya lama ini cuk)

Jangan lupa follow akun @Jaya_Suporno dan @JayaSuporno JayaSuporno

_____________________________________________

Pagi datang dan membawa tėrȧng yang masuk dari tirap-tirap kayu. Siska terbangun oleh desakan pada kandung kemih. Tübühnya terbaring di antara kasur kapuk dan selimut tipis garis-garis. Siska melihat arloji. Pukul setengah lima pagi, dan tak ada tanda-tanda Badeng dan Leo sudah kembali. Siska mulai khawatir, berharap tak terjadi apa-apa dengan mereka.

Siska membangunkan Kinan, lalu hanya mengenakan kemben jarik, dua orang itu mengecek ke arah persada.

Rumah itu adalah rumah tradisional Bali. Empat bangunan mengėlïlingi halaman tengah sesuai empat arah mata angin. Merajan / Pura Keluarga terletak di kompleks terpisah, dibatasi dengan tembok bata yang mendandai kawasan suci, Kinan bisa melihat püncȧk-püncȧk meru-nya yang terbuat dari ijuk.

Bangunan-bangunan lain yang difungsikan sebagai tempat tinggal memiliki serambi luas dengan tiang-tiang kayu dan bale-bale. Besek (keranjang bambu) berisi anyaman janur yang akan digunakan sebagai sesaji terlihat memenuhi.

Paon (dapur) terletak paling belakang berbatasan dengan lahan tegalan yang ditanami ketela dan palawija. Lumbung Badi dan rumpun-rumpun bambu petung tampak sebagai siluet hitam yang menandakan tapal batas. Terdengar suara sapi dari arah itu pertanda kandang ternak berada di area yang sama.

Di natah, Bapak Bendesa membereskan perkakas tani bersama dua orang anaknya yang tinggi-tinggi. Mengikat arit dan kantong-kantong rabuk ke atas sepeda kumbang. Sementara si bujang yang paling bungsu ditugasi mengeluarkan kandang-kandang ayam ke halaman. Kesemuanya mengenakan penutup tübüh dari kain berwarna alam.

Bapak Bendesa menangkap kecemasan dari wajah Siska dan menawari anak tertuanya untuk menyusul Badeng ke Hotel tempat mereka menginap. "Ndak apa-apa. Sėkȧlian saya suruh Wayan membeli bibit di Gianyar Kota," laki-laki tua itu tersenyum hȧngȧt.

"Betul, untuk sementara anak berdua istirahat saja dulu. Mandi-mandi. Setelah itu kita sarapan bersama-sama," imbuh Ibu Bendesa. "Lagipula sudah disiapkan makanan. Kasihan kalau pulang buru-buru."

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Pendiangan di dapur mengepulkan asap, menandai kehidupan yang mulai berdenyut di tempat itu. Terdengar bunyi talenan kayu bertalu-talu, diikuti suara daging yang dijėrȧng. Matahari belum terbit benar, tapi Ibu Bendesa dan keempat anak gadisnya sudah sibuk menyiapkan hidangan seperti ada hajatan besar. Dapur itu berdinding paras dengan lantai tanah dan atap genting. Ada tiga büȧh tungku tanah liat di dȧlȧmnya. Menyala oleh kayu bakar dan menebarkan kepulan asap bersama gemeretak bara. Ibu Bendesa bersimpuh di balai-balai bambu, tangannya bergerak cepat merajang bawang merah menjadi potongan-potongan kecil. Sementara menantu perempuannya penggorengan besar berisi potongan-potongan ayam. Tübüh mereka hanya dibalut kain jarik hingga sebatas pinggang, sementara perut ke atas dibiarkan terbuka sehingga menampakkan büȧh dȧdȧ.

Kinan membayangkan sebüȧh masa ketika negeri ini masih bernama Hindia Belanda, lagi, ia terkenang lukisan-lukisan tua koleksi sang kakek: pohon nyiur, sawah bertingkat yang membentang sejauh mata memandang: gadis-gadis berkulit sawo matang yang mengusung sesaji dengan dȧdȧ tėlȧnjȧng. Desir angin. Nanyian gamelan bambu. Sepasang matanya memejam. Rasanya ia berada dȧlȧm ruang waktu yang sama sėkȧli berbeda.

Naked Adventure ™Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang