Kepindahanku disambut bahagia oleh Dokyeom. Seperti janjinya beberapa saat yang lalu, pria itu pagi-pagi sengaja datang ke Daegu. Aku tidak terlalu memerhatikan apa saja yang dilakukannya selama aku mengepak pakaian. Aku sempat melihat dia berbincang-bincang bersama nenek di ruang keluarga saat aku mengambil air putih. Nenek tampak menepuk-nepuk punggungnya. Dia melihatku, aku mengabaikannya dan berjalan ke kamar.
Aku melihat kamarku sampai ke sudut-sudutnya. Ini bukan masalah harus meninggalkan kamar ini mengapa aku merasa begitu sesak. Aku bahkan merasa kamar ini hanya sekedar tempat untuk tidur. Hanya saja sekarang rasanya berbeda, seolah aku tak bisa lagi berada di dalamnya.
“Kau sudah selesai? Dokyeom menunggumu di bawah,” tanya Yuqi. Dia masih berdiri di ambang pintu.
Aku mengangguk. Dengan segera aku mengambil tas tanganku setelah memastikan bahwa semua barang berhargaku—seperti saputangan, jam tangan dan sebuah jepit rambut—yang semuanya adalah pemberian Alex.
Dokyeom mendongak saat mendengar langkah kaki menuruni tangga. Dia tampak tersenyum manis menyambutku. Aku pun membalas senyumnya walau sedikit kaku. Mungkin Dokyeom sudah memulai kisah cinta pura-pura kami sekarang.
Tidak banyak hal yang aku katakan pagi ini. Lidahku kelu, tak tahu harus mengucapkan apa sebagai kata perpisahan. Aku tidak berharap banyak dari keluargaku, hanya sebuah doa semoga ini adalah yang terbaik yang aku butuhkan.
“Aku akan mengunjungimu jika pergi ke Seoul. Aku pasti akan sangat merindukanmu Miyeon eonnie,” bisik Yuqi saat aku memeluknya.
Ibu dan ayah hanya memelukku tanpa mengucapkan kata perpisahan. Aku cukup terpaku saat ayah mengucapkan terima kasih pada Dokyeom karena telah menjemputku. Apa-apaan ini? Aku beralih memeluk nenek yang tengah tersenyum menyambutku. Dia menepuk-nepuk punggungku dan membisikkan kalimat: kami akan datang ke pertunangan kalian.
Dengan langkah tegap, kami—aku dan Dokyeom—melangkah pergi menuju mobil milik pria itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian hatiku terasa berlubang dan mataku siap meluncurkan air mata. Hal ini sudah bisa aku tangani dengan tetap berjalan tanpa menoleh sekalipun.
Suasana di dalam mobil terasa begitu canggung. Aku sendiri enggan untuk memulai percakapan. Untuk saat ini aku memang membiarkan Dokyeom merasa menang. Aku mengeluarkan ponsel dari sakuku. Ada beberapa pesan dari rekan kerjaku dan Soyeon, tapi aku mengabaikannya. Tanganku refleks berhenti, mataku terpaku pada kotak masuk terakhir yang aku baca. Dari Alex.
“Kau mau makan dulu?”
Pikiranku masih terpaku pada ponselku sehingga aku mengabaikan Dokyeom begitu saja. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Dia nampaknya juga hanya sekedar basa-basi saja menawariku.
‘Aku harap aku sudah menemukannya.’
Aku mengetikkan beberapa kata yang terasa sulit itu dan segera menekan tombol ‘send’ sebelum berubah pikiran. Aku menyadarkan diriku kembali pada kenyataan, bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Ini adalah awal yang harus diperjuangkan.
Diam-diam aku menghela nafas, tidak terlalu kentara. Entah kenapa aku hanya tidak ingin Dokyeom melihatku yang tampak begitu sengsara dan putus asa seperti ini. Mungkin semacam ego yang ada di diriku. Karena sampai sekarang aku masih belum bisa memandang Dokyeom sebagai ‘calon partner’ yang tepat. Tentu saja selain dia anak yang berbakti.
“Pakailah…” Dokyeom menyodorkan sapu tangan berwarna putih padaku. Ada semacam bordiran di sudutnya, mungkin symbol keluarganya? Entahlah.
Aku masih berdiam selama beberapa menit. Dahiku mengkerut, sedang Dokyeom memandangku dengan ekspresi yang entahlah, aku tak bisa menafsirkannya. Untung saja saat ini sedang lampu merah sehingga tak mungkin Dokyeom menubruk mobil lain karena memandangku bukannya melihat ke jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIAR [✔]
FanfictionI lie to myself all the time. And I'm wondering, what the sh*t exactly are we looking for?