Sehari setelah kejadian itu, Dokyeom—lagi-lagi—memaksaku untuk mengambil cuti. Aku tidak menolak dan berkomentar banyak tentang keputusan sepihaknya, karena memang aku butuh istirahat. Aku terlalu lelah, fisik dan jiwa. Terlalu banyak hal terjadi belakangan ini sampai aku merasa aku tidak bisa mengingat siapa namaku lagi. Untuk yang satu itu memang agak berlebihan.
Selama dua hari ini, aku terus berada di apartemen dan hanya keluar sekali untuk membeli makanan. Dan selama dua hari itu, Dokyeom terus memantau keadaanku lewat telepon. Aku bisa memaklumi bahwa dia sangat sibuk sehingga tidak bisa datang ke sini. Untunglah, telepon darinya dapat sedikit menghiburku.
Entah mengapa aku merasa terhibur dengan segala perhatian yang diberikan Dokyeom belakangan ini. Nada suaranya saat menelepon tidak lagi terdengar seperti nada memerintah yang otoriter seperti biasanya. Suaranya terdengar sangat lembut dan penuh perhatian. Dan entah kenapa, aku merasa senang melihat namanya terpampang dalam layar ponselku.
Aku mengambil remot televisi dan duduk di sofa sambil memegang cangkir yang berisi teh hangat. Meskipun hari ini terasa panas, aku lebih memilih meminum secangkir teh hangat daripada segelas jus atau es yang dingin. Bagiku, meminum teh lebih bisa menghangatkan dan kadangkala mendinginkan hati. Ada perasaan tenang saat aku meminumnya. Meskipun dari luar, teh terlihat sangat tidak cocok dengan suasana siang ini, tapi jika kita sudah mengenalnya dan memahami karakteristiknya, teh bisa membangkitkan rasa nyaman yang sangat luar biasa. Dan di saat yang tepat pula, seperti di hari saat hujan turun dan dingin menyelimuti, teh akan lebih terasa menghangatkan. Tunggu, hal ini terdengar seperti seseorang.
Buru-buru aku menghilangkan teh dari pikiranku. Tapi sepertinya aku terlambat karena seulas senyum sudah terbentuk di bibirku. Aku memilih untuk melihat daftar acara-acara di televisi untuk mengalihkan perhatianku dari filosofi teh tadi.
Acara televisi siang ini tidak begitu menarik. Lagi-lagi televisi hanya berisi tentang acara-acara membosankan seperti infotainment dan drama. Aku tidak menyukai drama korea, meskipun banyak orang berkata aku aneh karena tidak menyukainya. Ingin aku membantah mereka dan berkata: bagaimana aku bisa menikmati drama-drama itu jika hanya dengan melihatnya saja langsung bisa mengingatkanku pada kehidupanku yang menyedihkan ini? Mempunyai hidup yang hampir sempurna. Karir yang bagus. Keluarga yang begitu perhatian. Kekasih yang sempurna. Hidup bahagia dengan sang kekasih sampai suatu amanat dari keluarga menghancurkan segalanya. Putus dengan kekasih karena perjodohan. Calon tunangan yang super kaya dan super sibuk. Calon tunangan yang otoriter. Calon tunangan yang lama kelamaan bisa menyembuhkan sakit yang ditimbulkan akibat perjodohan paksa ini.
Bayanganku tentang kesamaan antara kehidupanku dan kehidupan dalam drama-drama korea buyar saat kudengar telepon genggamku berbunyi. Dengan sedikit berlari aku memasuki kamarku dan buru-buru meraih telepon genggamku. Terbesit sedikit perasaan kecewa saat aku tidak menemukan nama Dokyeom di sana. Hanya ada sebuah nomor tak dikenal. Aku mengernyitkan dahi, lalu menekan tombol hijau di layar telepon genggamku.
“Halo,” aku berkata pelan. Siapa yang menelepon siang-siang seperti ini?
Tidak ada jawaban, tidak terdengar suara siapapun dari seberang.
“Halo? Siapa ini?” aku mengeraskan suaraku, berpikir barangkali saja orang itu tidak mendengar suaraku yang pelan. Aku menunggu beberapa detik, masih tidak ada jawaban.
“Halo? Siapa ini? Halo? Jika anda tidak menjawab, saya akan menutup telepon ini. Halo?”
Setelah beberapa detik aku langsung memutuskan sambungan. Aku kesal, siapa dia?
Sambil berjalan menuju sofa, aku berusaha mengingat-ingat, rasa-rasanya aku tidak pernah memberikan nomor teleponku kepada siapapun kecuali keluarga dan teman-temanku. Lalu siapa tadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
LIAR [✔]
FanficI lie to myself all the time. And I'm wondering, what the sh*t exactly are we looking for?