One month later…
Sesak sekali. Inilah perasaan yang aku rasakan sekarang. Memang benar, bahwa dunia ini berputar secepat arus air laut. Baru beberapa saat yang lalu aku merasa di atas awan, saat kebahagiaan menyinggahiku dan merasa seolah dunia dalam genggamanku. Tapi sekarang, kenapa semua rasanya hanya semu belaka?
Kakiku melangkah tak tentu arah. Otakku sibuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Seharusnya kau bahagia, Cho Miyeon. Seharusnya aku memang bahagia. Seharusnya memang seperti itulah. Andai seseorang dari masa lalu itu tak muncul ke permukaan dan tetap bersembunyi di tempatnya berada.
Kutengok ke kanan dan kiri, suasana kota Seoul masih sama. Sejuk dan ramai. Kepalaku pening, rasanya benar-benar sakit. Mungkin Tuhan menghukumku karena kebohongan-kebohongan yang aku ciptakan selama ini. Sudah berapa orangkah yang aku bohongi selama ini? Satu? Dua? Atau bahkan lebih dari itu. aku tidak mengingatnya.
Brak.
Kejadian apa yang baru saja terjadi. Aku menyeberang jalan. Seseorang menyeretku. Aku terjatuh. Kepalaku membentur aspal. Darah.
Kepalaku berdenyut keras, tapi sakitnya masih tak sebanding dengan sesak yang aku rasakan. Tanganku otomatis menyentuh pelipisku. Aku mengerang saat seorang pria mengulurkan sebuah sapu tangan ke arahku. Kubiarkan sapu tangan itu tetap di tangannya sampai beberapa menit. Kejadian ini lagi, aku bosan. Kenapa aku tidak mati saja?
“Kau baik-baik saja?”
Kepalaku masih berdenyut sakit. Aku bahkan nyaris limbung kalau saja aku tak menopangkan tanganku pada pot bunga di sampingku. Beberapa orang yang sedang berlalu lalang tampak berhenti sejenak untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Otakku masih terlalu terkejut untuk mencerna perkataan mereka yang sebagian besar intinya: apa yang terjadi, apa dia mau mati, apa dia sudah gila.
Aku melirik Dokyeom yang berdiri di sampingku dengan ekor mataku. Sungguh, aku berharap bukan dia yang menolongku. Siapapun dan darimanapun asalkan bukan dia. Lalu, aku akan merasakan perasaan itu dan melupakan tunanganku.
Dan ngomong-ngomong jangan terkejut dengan sebuah cincin yang melingkar di jari manis tangan kiriku. Dua minggu yang lalu, aku benar-benar bertunangan dengan Dokyeom. Atas dasar cinta karena memang aku mencintai Dokyeom. Well, dia memang benar-benar hebat karena berhasil membuatku membuang Alex.
“Apa yang kau pikirkan? Kau mau mati?”
“Aku mau mati, lalu kau mau apa?”
Dokyeom mengumpat pelan. Dengan sekali gerakan dia menyeretku ke sebuah kedai. Sialan! Kasar sekali dia. Tapi meskipun aku diperlakukan seperti ini, nyatanya jantungku masih tetap berdetak tak beraturan.
Segelas air putih tersedia di depanku. Dokyeom beranjak ke kursiku, dia menghapus sisa darah yang masih mengalir di pelipisku, tapi aku segera menepisnya. Dia mendesah pelan dan kembali ke bangkunya. Banyak sekali darah yang mengalir, pantas saja kepalaku rasanya seperti dipukul dengan batu yang beratnya berton-ton.
“Ada apa denganmu?” tanya Dokyeom lembut. Cih, membuatku muak saja. Selain mampu membuatku membeku, Dokyeom adalah pemuda yang sangat pintar. Aku benci saat melihat tatapan matanya, raut wajahnya, dan aku benci tak bisa menerka apa yang dipikirkannya.
“Menurutmu?” desisku. Aku meminum segelas air putih di depanku untuk sekedar menyegarkan tenggorokanku. Walau bagaimanapun menderitanya diriku saat ini, aku tak boleh lepas kendali. Jangan terlalu berlebihn, Miyeon.
Dokyeom mengulum senyum, “Apa kau sedang bertengkar dengan mantan pacarmu, Alex?”
Brengsek. Apa yang dia pikirkan tentangku sebenarnya. Dia pikir gadis macam apa aku ini. Hey, setelah kejadian sebulan lalu aku bahkan mengabaikan pesan Alex yang menanyakan tentang keadaanku. Aku sadar diri, sekarang aku memiliki seorang tunangan dan bagaimana mungkin aku masih berhubungan dengan mantan kekasihku?
KAMU SEDANG MEMBACA
LIAR [✔]
FanfictionI lie to myself all the time. And I'm wondering, what the sh*t exactly are we looking for?