Aku menatap langit kelabu tepat di atas kepalaku. Menikmati setiap tetes gerimis yang jatuh membasahi jalan. Menolehkan kepala sejenak saat mendapati sebuah kemeja tersampir dipundakku. Aku pun tersenyum saat mendapati seorang pria —yang telah memberikan kebahagiaan untukku—berdiri di sampingku. Dengan kedua tangan saling bersedekap.
“Kau sudah lama?” tanyanya.
Aku menghirup oksigen dalam-dalam. Tiba-tiba saja perasaan tak enak itu kembali menyelusup di sela-sela hatiku. Pandanganku terfokus pada apa yang ada di depan sana. Jalanan yang dipenuhi dengan orang yang berlalu-lalang sambil memegang payung.
“Jadi, ada apa Lex?” tanyaku.
Alex menarik satu tanganku yang tengah berpegangan kuat pada jeruji besi, menggenggamnya dengan kuat. Mungkin lebih tepatnya meremasnya dengan kuat. Aku bahkan merasa seolah-olah tulang-tulang tanganku serasa remuk. Pasti ada sesuatu yang salah disini.
“Aku akan pergi ke Perancis,” jawabnya. Aku bisa mendengar nada penyesalan dalam suaranya.
Aku melepaskan genggamannya. Menghirup oksigen dalam-dalam. Aku benci diriku yang seperti ini, menduga sesuatu dan justru menjadi sebuah kenyataan. Aku pun hanya bisa tersenyum menatapnya, seolah apa yang baru saja dikatakannya hanyalah sebuah angin lalu.
“Berbahagialah Miranda, kau mau berjanji kan?” tanyanya.
Ya Tuhan! Ingin aku menghajar pria di sampingku ini sekarang juga. Bagaimana dia bisa mengatakan kata ‘bahagia’ dengan entengnya setelah mencampakkanku? Well, mungkin hal ini terdengar berlebihan karena pada kenyataannya aku memang sudah mengetahuinya. Tapi tetap saja kan, ini menyakitiku…
“Kau tidak bisa berbasa-basi sedikit?” tanyaku.
Dia tertawa. Tangannya membelai lembut rambutku dan setelah itu dia mengecup puncak kepalaku. Aku pun hanya bisa memejamkan mata, menikmati rasa yang mungkin tak kan pernah aku dapatkan lagi. Untuk beberapa tahun yang akan aku lewati, tanpa kehadirannya.
“Jika kau pergi ke Perancis, aku berjanji akan mengajakmu mengelingi negara itu selama kau mau,” ujarnya.
Aku pun hanya tersenyum simpul. Tanpa sadar kini tangankulah yang bergerak mencari keberadaan tangannya. Dan setelah aku menemukannya, aku menggenggamnya dengan erat. Sedangkan dia hanya tersenyum tipis dan kembali menatap langit.
“Terima kasih, Lex. Itu cukup menghiburku,” balasku.
Alex menarik kepalaku dan membenamkan di dadanya. Lalu turunlah air mata yang paling aku benci tanpa bisa aku mencegahnya. Aku bisa merasakan tangan Alex menarikku menjauhi balkon karena hujan turun semakin deras.
Aku masih sesengukkan saat seorang gadis sebayaku menatapku dengan tatapan iba seraya memberikan secangkir coklat panas untukku. Sedangkan Alex, mungkin dia tengah tersenyum tipis dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja padanya.
Selama beberapa menit sampai hujan reda, Alex membiarkanku menangis sendiri. Dia tidak mengatakan apapun untuk menghiburku, karena itu hanyalah hal yang sia-sia.
“Jangan pergi, Lex!” pintaku.
Aku tidak peduli dengan apa yang akan dipikirkannya saat ini. Aku bukan gadis cengeng yang gemar membuang air mata. Dan Alex tahu benar tentang hal itu.
“Ayo, aku akan mengantarmu pulang,” katanya lembut.
Aku segera menepis tangannya. Kedua tanganku segera menghapus sisa-sisa air mata yang menetes. Aku pun segera meraih tas tanganku dan berdiri.
“Silakan! Pergi sejauh mungkin agar aku tidak bisa melihatmu lagi,” bentakku.
Aku tidak mengindahkan sama sekali teriakan Alex yang menggema di telingaku. Aku terus berlari menerobos hujan. Hatiku mencelos saat aku menoleh ke belakang dan aku tidak mendapatinya berdiri di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIAR [✔]
FanficI lie to myself all the time. And I'm wondering, what the sh*t exactly are we looking for?