“Selamat pagi, nona. Silakan, sarapan anda.”
Aku menoleh, lalu menerima nampan yang diserahkan oleh petugas kereta ekspres ini dengan seulas senyum tipis. Tanpa melihat apa yang ada di atas nampan, aku meletakkan nampan itu pada meja di depanku, lalu kembali melakukakan aktivitas yang sejak beberapa jam lalu kulakukan. Melamun.
Lagi-lagi beberapa kejadian yang sama kembali mengusikku. Kejadian di kantor, kejadian di ruang rapat, dan kejadian paling terakhir dan paling kuingat saat aku meninggalkannya dan dia tidak mengejarku.
Kurasakan hatiku seketika terasa perih mengingat kejadian malam itu. Bisa dipastikan kejadian itu adalah hal paling mengecewakan dalam hidupku. Kejadian yang tidak akan pernah hilang dari memori ingatanku, kejadian yang paling kubenci, kejadian yang entah apa sebabnya tidak ingin aku buang dari memori ingatanku.
Apa sebenarnya maumu Lee Dokyeom?
–
Cafe favoritku saat senja itu tidak terlalu penuh, jadi aku memutuskan untuk masuk dan mengambil tempat favoritku. Meja dengan dua kursi yang menghadap ke badan jalan. Sialnya, seseorang telah menduduki tempat itu. Akhirnya, kuputuskan untuk menduduki bangku dengan dua kursi yang berada di sudut cafe.
Kuletakkan tas dan koper kecilku, dan memesan secangkir lemon tea hangat. Lemon tea disini adalah yang terbaik. Biasanya, jika aku punya masalah aku akan datang ke tempat ini dan memesan secangkir lemon tea. Lalu masalahku akan lenyap dalam pikiranku, dan aku akan pulang ke rumah dengan hati dan pikiran yang lebih jernih. Tapi, untuk kasus ini…entahlah. Aku tidak begitu yakin.
“Permisi. Boleh aku duduk di sini?”
Aku mendongak. Kulihat seorang pria dengan senyum ramah dan kacamata yang terbingkai manis di wajahnya menatap kearahku. Tanpa menunggu jawabanku, pria itu duduk di kursi di seberangku dan mengulurkan tangannya.
“Perkenalkan,” ucapnya.
Aku masih memandangnya, lalu pandanganku beralih ke tangannya yang terjulur. Aku tersenyum sekilas, lalu kembali memfokuskan perhatianku pada lemon tea hangatku tanpa mengindahkannya.
Tanpa aku tahu, pria itu tersenyum tipis. “Jadi, kau suka lemon tea?”
Aku kembali mendongak. Aku mengernyitkan alisku, lalu hanya mengangguk kecil dan kembali fokus pada lemon tea—dan semua masalah menyedihkan itu.
“Ah, kalau begitu kita cocok sekali. Aku juga suka lemon tea.”
Aku menggeleng kecil tanpa melihat pria itu. Apasih maksudnya? Maaf saja, kali ini aku sedang tidak tertarik untuk beramah-tamah. Biarlah dia di sana, asal dia tidak mengangguku.
“Hei, apa yang kau suka dari lemon tea?” pria ini masih gigih bertanya. Tidakkah dia menyadari bahwa aku benar-benar tidak ingin diganggu?
Aku menaikkan alisku, tidak menatapnya seperti yang kulakukan sebelumnya. Aku mengambil buku menu, dan melihat-lihat isinya, berusaha mengirim sinyal pada pria itu bahwa aku tidak ingin diganggu.
“Baiklah, aku akan bercerita terlebih dahulu. Alasan kenapa aku suka lemon tea—”
Aku membanting buku menu ke atas meja, “Tidak bisakah kau diam dan duduk manis di sana, Tuan? Atau lebih baik aku yang menyingkir dari sini.”
Aku menarik tas tanganku dan hendak berdiri saat aku melihatnya tersenyum kecil, tidak tersirat perasaan tersinggung di matanya. Padahal aku sudah membentaknya dan berbicara dengan sikap yang tidak sopan.
“Baiklah… aku minta maaf. Aku akan diam.”
Aku mendengus, lalu kembali melihat-lihat buku menu dan meminum lemon tea-ku. Dia masih tetap di sana; dan diam. Benar-benar keras kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIAR [✔]
FanfictionI lie to myself all the time. And I'm wondering, what the sh*t exactly are we looking for?