Aku melangkahkan kakiku menuju taman yang hanya berjarak beberapa blok dari rumahku. Aku mendekapkan kedua tanganku pada tubuhku, menekan cardigan tipis yang aku pakai agar tubuhku terasa lebih hangat. Angin pagi saat musim gugur seperti ini begitu dingin, tapi sangat cocok untuk suasana hatiku saat ini.
Aku memutuskan untuk duduk di tepi jembatan kecil yang melintang menyebrangi sungai kecil di taman ini. Kuayun-ayunkan kakiku, menepis daun-daun yang berguguran. Daun-daun yang mulai berguguran terlihat mengambang di sungai, mengikuti arus sungai yang entah akan membawanya kemana.
Lama aku duduk di sana, hanya memandangi sungai dan daun tanpa berbuat dan berpikir apapun kecuali mengagumi keindahan alam yang mempesona. Aku ingatkan, jangan berpikir jika aku berniat untuk bunuh diri.
“Hai…”
Suara itu. Aku menoleh, dan kulihat pria itu lagi. Mingyu. Kali ini tanpa kacamata bertengger di wajahnya.
Mingyu duduk dan mengambil posisi di sebelahku. Kemudian suara cerianya kembali terdengar, “Sebenarnya apa yang kau lakukan di sini? Bunuh diri, huh?”
Aku menggeleng sebagai jawaban, “Tempat ini selalu indah. Apalagi di musim gugur dan musim semi. Aku selalu suka tempat ini.”
Mingyu mengangguk-angguk, lalu kembali bertanya, “Kau dari Seoul?”
Aku menoleh dan memandangnya, “Apa terlihat jelas?”
Mingyu tertawa. Raut wajahnya saat tertawa terlihat begitu bahagia, seakan tidak ada satu pun beban yang menghimpitnya. Jujur saja hal itu membuatku iri. “Aku juga sangat menyukai tempat ini. Hanya presentasenya tidak sebanyak saat aku pergi ke bukit.” Ujarnya tanpa menjawab pertanyaanku.
“Kau tahu, aku selalu ingin menjadi daun.” Aku mengernyit heran, tapi tidak berkata apapun. Menunggunya melanjutkan ceritanya. “Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin. Dia akan dengan senang hati dibawa pergi oleh angin. Jauh, meninggalkan tempatnya berasal. Meninggalkan teman-temannya saat tugasnya memasak makanan sudah usai. Mengembara tanpa sibuk bertanya kemana angin akan membawanya. Entah ke tempat yang lebih baik, atau ke tempat yang bahkan jauh lebih buruk dari tempatnya berasal.”
Mingyu terdiam sejenak, lalu kembali melanjutkan ceritanya. Aku hanya duduk dan memandang kakiku yang terayun-ayun, mencerna setiap kata-katanya.
“Daun itu akan pergi ke tempat baru, dan mendapat pengalaman baru. Dia bisa melihat dunia yang luas, mengenali setiap tempat yang ia singgahi. Dan kemudian dia akan terbang kembali dibawa angin ke tempat yang lebih jauh. Tanpa menyalahkan angin yang telah menjatuhkannya,”
“Di saat daun itu sudah berada pada ujung perjalanannya, dia akan tetap di sana. Menunggu tanah menguburnya secara alami dan perlahan, dan dia akan kembali berguna bagi dunia, dengan berbagai kisah yang telah dia dapat. Dia bisa menjadi pupuk alami, kau tahu kan? Bahkan disaat dia dianggap sampah, dia masih tetap berbuat baik bagi dunia.”
Aku memandangnya. Terlihat Mingyu mendongak ke atas, memandangi setiap daun yang jatuh berguguran secara perlahan. Senyuman damai terukir di wajahnya. Senyum yang…entahlah. Menyejukkan hatiku yang sesak dengan berbagai masalah dan emosi.
“Aku ingin menjadi daun, yang tidak pernah meyalahkan takdir yang telah digariskan Tuhan. Dengan tetap menjalankan tugasku sebagaimana mestinya. Melihat-lihat seisi dunia yang sudah pasti penuh dengan kisah-kisah menakjubkan. Dan pada akhirnya, saat waktuku habis, aku masih bisa berguna. Bukan hanya pada orang lain, tapi pada semua orang. Pada bumi ini. Semua orang tidak bisa hidup tanpa bumi, bukan?” Dia menoleh ke arahku, dan aku hanya memandanginya, lalu mengangguk pelan.
Mingyu balas memandangiku selama beberapa saat. Saat aku tersadar dipandangi seperti itu, buru-buru aku juga mengalihkan pandanganku darinya. Kurasakan pipiku memanas seiring dengan debar di dadaku. Ya Tuhan, ada apa denganku?
KAMU SEDANG MEMBACA
LIAR [✔]
FanfictionI lie to myself all the time. And I'm wondering, what the sh*t exactly are we looking for?