Reunion isn’t a bad thing at all.
Terkadang kita memang membutuhkan asupan memori lama yang setidaknya bisa membawa kita berjalan pada kenangan; melupakan sejenak rasa yang ada sekarang. Di samping itu, ada pula saatnya kita mengajukan protes akan apa yang terjadi di waktu yang berseberangan.
Wonwoo masih sama seperti dulu. Cappuccino tersaji di depan meja kami. Aku benar-benar dikejutkan olehnya. Sangat, saat melihatnya hadir dalam meeting. Dan dialah orang yang akan bekerja sama dengan perusahan Dokyeom. Ini buruk.
“Kau tampak kurusab,” komentarnya. Matanya menari-nari mengamatiku.
Aku mendelik menatapnya. Aku mengenalnya saat di Perancis dulu. Tidak terlalu mengejutkan sebenarnya melihat komentar-komentar kritis yang akan keluar dari mulutnya.
“Kau masih sama, cantik,” komentarnya lagi.
Aku tersedak mendengar komentarnya. Buru-buru dia menyodorkan tissue dan air putih yang tersaji di meja. Aku menggeleng pelan. Sepertinya Perancis telah mengubahnya menjadi pemuda aneh.
Aku mengabaikan komentar-komentar tak pentingnya. Lebih tertarik dengan alasan kepulangannya kali ini. Samar aku masih ingat dia pernah berjanji tidak akan pernah menginjakkan kakinya di tanah kelahirannya. Dia memang tidak mengatakannya secara rinci apa alasannya. Tapi aku menebak jika itu ada hubungannya dengan ayahnya.
“Kau melanggar janjimu Wonwoo,” gumamku.
Dia mendongak menatapku. Tersenyum tipis. Kukira dia akan membalas gumamanku saat kulihat bibirnya bergerak. Lima detik dan ternyata tidak ada kata yang terlontar. Dia justru kembali menyesap Cappuccino-nya.
“Ada apa?” tanyaku penasaran.
Basi-basi tidak berguna untuk kami. Wonwoo mengenalku dengan sangat baik, melebihi Alex, apalagi Dokyeom. Kuhela napas tak kentara, mengingat Dokyeom. Pria itu bahkan tidak tahu apa-apa tentangku.
Dua tahun lamanya aku tidak bertemu Wonwoo. Saat aku dan Alex memutuskan kembali ke Korea, Wonwoo kekeuh mengatakan masih ingin menetap di Perancis. Komunikasi kami memang tidak putus begitu saja, kami masih saling berhubungan via telepon walaupun tidak sering.
“Gadis musim panas,” gumamnya.
Aku dibuat bingung olehnya. Yah, selain komentar kritis, Wonwoo juga suka sekali melontarkan gumaman ambigu dengan berjuta kiasan miliknya. Aku sering dibuat kesal olehnya. Jika aku bertanya balik, kau bicara apasih, dia hanya berkata, it is not important.
“Please, bicara dengan frasa yang benar Wonwoo! Can you?” pintaku memelas.
Ah, benar. Tidak ada gunanya memasang wajah memelas padanya. Dia justru tertawa keras melihat ekspresiku. Disaksikan berpasang mata yang juga tengah menikmati senja di café ini, wajahku merah menahan malu. Aku tidak berbuat sesuatu yang lucu, tapi karena tawa riang Wonwoo, seolah aku berubah menjadi seorang badut yang baru saja melakukan kesalahan.
Wonwoo menghentikan tawanya saat melihat ekspresiku yang mencekam. Dia menatapku serius, “Aku akan berbicara jujur. Aku dulu mencintaimu, tidak ada penyesalan di sana dan sekarang aku menyayangimu… Cho Miyeon.”
Aku menganga. Wajahku merah (yang bisa ditafsirkan dengan berbagai macam ekspresi), tapi kali ini menahan amarah. Keheningan menyelimuti kami, orang-orang di café berbisik-bisik membicarakan kami, yang semakin menambah denyutan di kepalaku. Aku sadar, jika bahkan orang-orang di café ini memandangku. Ini tidak lucu sama sekali. Wonwoo tidak mengatakan cinta, tidak kan?
Aku menatapnya, “Won….”
Entah sudah serupa apa wajahku kini. Lain waktu, aku akan membunuhnya jika dia membuatku menjadi pusat perhatian lagi seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIAR [✔]
FanfictionI lie to myself all the time. And I'm wondering, what the sh*t exactly are we looking for?