So here's the new part of my pretty life. Ini bukan tentang segala penyesalan dan keluhan yang pernah terlontar dari bibirku selama hampir setahun belakangan. Ini bukan tentang banyaknya air mata yang menetes menyusuri pipiku. Atau tentang betapa besar rasa menyesalku untuk Sana dan Alex.
Aku masihlah wanita rapuh yang sok tegar, yang menganggap bahwa hidup itu bukan sebuah lelucon. Aku masih wanita yang memilih bersama seorang pria yang sudah memutar balikkan hatiku.
Ini tentang pagi saat aku mendapati sosoknya tertidur di sampingku. Wajahnya begitu polos seperti bayi. Rambut ikalnya tumbuh lebih panjang. Dan dia masih luar biasa tampan.
"Good morning," senyumnya, yang kubalas dengan senyum lebarku. Matanya terbuka, tapi ia tak tampak ingin beranjak.
Aku berbaring menatapnya, ia pun melakukan hal yang sama. Matahari yang seharusnya sudah menghujam ruangan serba putih kami terlihat samar-samar. Ah, aku menyukai bagaimana aku menyebutkan kami di antara ceritaku. Bukan aku atau dia.
"Apa sih, yang sebenarnya terjadi pada kita? Hingga kita hanya berani menduga-duga dan harus menunggu terlalu lama untuk semua ini?" tanyaku iseng. Dokyeom tergelak, jemarinya menggenggam milikku. Membenamkannya di balik selimut yang menutupi seluruh tubuh kami
Ini tentang hari di dua minggu kemudian setelah aku menghambur memeluknya, menangis di pundaknya dan Alex yang mengantarku padanya. Aku sadar bahwa hidup dan cinta sama-sama butuh perjuangan. Aku membutuhkan dia untuk hidup. Aku membutuhkan dia agar aku bisa bahagia.
Terdengar sangat aneh jika menyebut hidupku seperti telenovela. Tapi kisahku dan Dokyeom membuatku tersadar bahwa memang ada kisah yang seperti ini. Aku hanya belum memahami apa yang takdir bawa untukku, hingga aku membutuhkan waktu lebih lama untuk mengerti esensi tentang hidup yang sebenarnya. Aku hanya perlu bersyukur dan berhenti mengeluh. Dan inilah cinta dan realita.
Hingga dering telepon terdengar, Dokyeom tak kunjung melepaskan genggaman tangannya. Aku mendengar umpatan kecil terlontar dari bibirnya ketika dering telepon tak kunjung berhenti.
"Angkat saja, siapa tahu penting," usulku yang dibalas gelengan kepalanya.
"Itu pasti Yuju. Aku akan memperingatkannya untuk tidak mengganggu waktu pagi kita."
Aku tergelak mendengarnya. Lihatlah, bagaimana ia menggunakan frasa kita dalam ucapannya. Terdengar sangat indah, bukan?
Dia menatapku lama, membuatku tenggelam dalam tatapan teduhnya yang memabukkan. Senyum indah yang membingkai wajah rupawannya, menjadi candu tersendiri untukku. Entah sudah seberapa milyar perasaan yang menggebu untuk disalurkan kusimpan.
Kuhela napas sejenak kemudian tersenyum manis. Tanganku dengan lancangnya membelai rambutnya, membuat Dokyeom sedikit terkesiap, tapi ia tersenyum. Tangannya menghentikanku ketika aku hendak menyentuh pipinya.
And that passionate kiss at six o'clock happened. Matanya yang terpejam, senyumnya yang memikat. Damn it! Bagaimana mungkin aku tidak mencintai pria di sampingku ini? Lee Dokyeom dalam balutan kemeja dan jas kerja terlihat sangat tampan. Lee Dokyeom dalam balutan kaos oblong dan jeans terlihat begitu adorable. Tapi Lee Dokyeom dengan rambut acak-acakan dan mata yang setengah mengantuk, bagaimana aku mendeskripsikannya, he looks so fuckin hot and sexy. Oh please, excuse my words.
"You win this, Sweetheart," bisiknya lirih kemudian memelukku semakin erat. Hari-hari di musim gugur yang penuh cinta. Antara senyumku dan seringaiannya. Antara tawaku dan gelaknya.
For now, this is enough.
~~~
EPILOG
KAMU SEDANG MEMBACA
LIAR [✔]
FanfictionI lie to myself all the time. And I'm wondering, what the sh*t exactly are we looking for?