Sepanjang jalan, apa yang bisa kulakukan hanya mencegah agar tetes air mata tidak jatuh menuruni pipiku. Aku tidak bisa menyesali apa yang sudah terjadi. Dan sekarang di mataku segalanya terasa salah. Apa yang dikatakan Dokyeom, hatiku merongrong meminta untuk menyerah.
Kepercayaan, aku tidak akan berpegang pada hal-hal tentangnya. Tidak ada seorang pun yang bisa kupercayai di dunia ini. Termasuk diriku sendiri. Awalnya, aku masih berharap ada satu saja orang yang bisa kupercayai. Dan Wonwoo menghancurkan segalanya.
Incheon padat seperti biasa. Aku berusaha menerobos orang-orang yang berlarian. Senyum tersungging begitu saja saat aku melihat sosoknya berdiri di sana. Rambut kecoklatan dengan tubuh yang cukup tinggi.
Alex berlari kecil ke arahku, tampak sekali dia juga tengah berusaha menerobos padatnya orang-orang. Kami hanya berdiri saling memandang dalam diam. Aku merindukannya, dan rasa itu menggerogoti hampir sebagian hatiku, hingga bagian yang aku sisihkan untuk dia kian menipis.
“Aku merindukanmu, Miranda,” senyum terulas dari sudut bibirnya. Aku menyukai bagaimana Alex memanggilku ‘Miranda’. Terdengar sama seperti Wonwoo memanggilku, tapi ada rasa yang menggelitik saat suara merdu miliknya terdengar. Miranda adalah nama pemberian dari salah satu teman kami berkewarganegaraan Perancis ketika dia sedang berada di Korea untuk pertukaran pelajar. Dia juga memberi nama Alex untuk Jungkook. Dan kami sepakat untuk memakai nama itu karena memang terdengar lucu dan unik saja.
Aku membiarkan Alex menuntunku, menggenggam jemariku dengan kuat namun lembut. Alisku bertaut sempurna saat ia membawaku ke sebuah restoran di kawasan Incheon. Seolah menjawab kebingunganku, Alex berujar, “Maaf, aku lapar.”
Dia masih belum berubah. Jeon Jungkook atau Alex yang selalu berhasil membuatku tertawa tanpa harus menunggu hujan turun di musim panas. Aku menatapnya yang tengah menyantap sepotong pizza di tangannya.
Aku mendesis mengejeknya, “Perancis merubahmu seperti ini, ya?”
Dia tersenyum tipis, menghapus sisa mayonnaise di sudut bibirnya. “Kau tidak berubah, Mir. Hanya saja, kau tampak agak kurus.” Aku tersenyum, hambar. Aku bertanya-tanya, apa semua orang menyadari perubahan tubuhku?
“Hanya saja, aku sering bertanya-tanya, apa cinta yang kusimpan untukmu masih memiliki balasan yang sama juga?”
Aku terbatuk-batuk mendengar pertanyaan yang dilontarkan Alex. Jika saja Alex mengajukan pertanyaan yang sama dua bulan yang lalu, dengan gampangnya akan kuanggukan kepala ini. Sekarang, segalanya begitu berbeda. Kepala ini hanya menunduk tanpa anggukan.
–
Kehebohan yang melanda Lee Coorporation belum mereda juga. Dan aku tidak bisa berlari begitu saja. Aku tidak merasa bersalah. Terjerumus ke kandang macan dan tak bisa keluar, mungkin itulah keadaan yang menghimpitku saat ini. Aku tidak bisa menyimpulkan sepihak jika jebakan ini ada sangkut pautnya dengan ayah Dokyeom.
Tubuhku lemas di pagi yang cerah ini hanya karena aku melihat sosoknya bersandar di depan pintu. Aku melengos saat mendapati iris hitamnya menatapku. Sementara tangannya menarik lenganku saat aku hendak membuka kenop pintu.
“Bisa kita bicara sebentar?” pintanya. Aku melepaskan tangannya dan segera masuk ke ruanganku. Tanpa jawaban dariku pun Dokyeom akan tetap memaksaku, kan? Memangnya aku bisa menolak?
Aku mengernyit bingung saat melihatnya menyodorkan undangan berwarna biru sapphire ke mejaku. Oh, aku melupakan sesuatu. Undangan pernikahan kami. Ada namaku dan namanya yang menghiasi bagian atasnya. Hatiku bergetar, tanganku perlahan membuka plastik yang membungkus undangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIAR [✔]
أدب الهواةI lie to myself all the time. And I'm wondering, what the sh*t exactly are we looking for?