Pernah nggak sih merasakan bahagia sekaligus iri di saat yang sama? Inilah yang Andini rasakan saat ini. Bibirnya tidak berhenti menyunggingkan senyum lebar selagi mengamati sahabat dan kakak tertuanya di atas pelaminan sedang menyalami ratusan tamu yang mengantri.
Dari tempatnya berdiri sekarang, Andini melihat sekeliling aula besar salah satu hotel ternama di daerah Jakarta Selatan yang dijadikan tempat resepsi ini dihias begitu cantik dengan berbagai macam bunga segar yang menguarkan wangi lembut. Andini menggerakkan tangannya yang menggenggam ponsel, mengarahkannya ke beberapa sudut cantik, juga kerumunan tamu dan keluarga. Ia ingin mengabadikan momen penting ini dan membaginya nanti dengan sang kakak ipar setelah acara selesai.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri, seorang lelaki terlihat memandangi sepasang pengantin baru yang sekarang diminta untuk berfoto bersama beberapa orang tamu. Sesekali senyum kecil terpampang di wajahnya, ketika melihat senyum lebar si pengantin wanita.
"Di liatin terus begitu yang ada lo baper entar," ujar Andini saat langkahnya hanya tinggal sejengkal dari lelaki yang sejak tadi dilihatnya memandangi pelaminan. "Jangan lupa, Ana udah jadi kakak ipar gue. Jangan macem-macem lo."
"Gue nggak ada mikir yang aneh-aneh, Andini." Adrian berbalik kemudian mengacak pelan rambut Andini yang di sanggul menyamping dengan beberapa anak rambut dibiarkan terurai di sisi wajah. Membuat si empunya menepis tangannya panik. "Lo cantik," sambungnya dengan senyum lebar.
"Ya iyalah gue cantik, kalo gue cowok berarti gue ganteng oncom." Andini menyahut acuh seraya kembali membenahi rambutnya yang tadi sempat di acak Adrian. Begitu tangan Adrian kembali terarah ke kepalanya Andini otomatis menghindar dengan menggeser tubuhnya, memberikan jarak. "Ih, usil amat sih tangan lo, ntar sanggul gue berantakan," jerit Andini.
"Gue cuma mau bantu benerin, ya elah nggak percayaan amat." Adrian kembali mengarahkan tangannya ke kepala Andini, merapikan helaian rambut yang sedikit keluar dari sanggulan. Bibir Andini hanya mengerucut sebal tapi tetap membiarkan Adrian membantunya.
"Nggak nyangka ya, akhirnya Ana duluan yang naik pelaminan." Andini melangkahkan kakinya ke arah meja prasmanan, Adrian mengikuti di belakangnya.
"Ya emang udah saatnya," jawab Adrian seraya menarik pelan lengan Andini yang hampir bertabrakan dengan tamu lain. "Lagian kalo nggak sekarang, Abang lo kapan lagi nikahnya, keburu tua."
Andini yang mendengar itu tersedak tawa. Untung mulutnya belum sempat mencicipi pie buah yang ada di tangannya. "Hahaha... jahat lo. Abang gue tuh."
Adrian hanya menampilkan cengiran tidak bersalah. "Bercanda," ujarnya.
Setelah mengambil beberapa jenis kue manis Andini berjalan ke arah meja bundar yang memang di siapkan untuk keluarga. Tidak lama kemudian Adrian menyusul dengan sepiring sate kambing dan siomay.
"By the way, tamunya banyak juga ya."
Andini hanya mengangguk menanggapi ucapan Adrian, mulutnya masih sibuk mengunyah. Setelah meneguk air mineral yang disediakan di tiap meja, ia menjawab, "Sebenernya undangan cuma 500 sih, tapi itu belum termasuk keluarga, jadi mungkin lebih. Awalnya Ana mau bikin yang sederhana gitu, keluarga sama teman-teman terdekat aja. Tapi, secara dia cuma anak satu-satunya, ya nggak bisa."
Adrian mengangguk pelan, kemudian bertanya, "Kalo lo nanti mau acara rame kayak gini juga, apa gimana?" tanya Adrian sambil menggigit sate kambingnya.
"Kalo gue sih selalu pengin pernikahan yang sederhana dan sakral, tamunya nggak usah banyak-banyak. Yang deket-deket aja, lebih intimate." Andini meraih tisu yang ada di meja dan mengelap sudut bibir Adrian yang terdapat bumbu kacang dari sate. "Gue nggak mau berdiri berjam-jam nyalamin tamu yang bahkan gue nggak tau itu siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEST MATE
Romance"Kenapa lo jadi marah-marah sih? Lo ada masalah kalo gue mau balikan sama Nendra?" Lelaki di hadapannya hanya diam membuang muka. . . . Mempertaruhkan harga dirinya Andini bertanya, "Lo suka sama gue?"