TIGA BELAS

3.7K 464 16
                                    

Andini memandangi ponselnya seraya bergelung di atas kasur dengan tangan memeluk boneka beruang besar. Biasanya, paling tidak ada satu atau dua pesan yang akan mampir ke ponselnya sebelum tidur.

Namun kali ini tidak. Ah, maksudnya sudah beberapa hari ini tidak ada. Kenyataan itu membuatnya sedikit sesak.

Suara ketukan disertai pintu yang terbuka membuat Andini menoleh. Bima berdiri di sana memandangnya dengan kening berkerut.

"Mukanya jelek amat sih," ujar Bima seraya melangkahkan kakinya ke dalam kamar dan duduk santai di pinggir tempat tidur adiknya. Satu tangannya berada di atas kepala Andini, mengacak rambutnya.

Mendengar ledekan kakaknya, Andini hanya berdecap pelan. Bima menatapnya lurus, tapi tidak berkata apa pun. Seolah sengaja menunggunya buka suara.

"Aku nggak apa-apa," Andini akhirnya mengalah. Mungkin tidak ada salahnya bercerita pada Bima. "cuma ngerasa agak beda aja sih," lirihnya.

"Beda kenapa?"

"Kakak pernah nggak sih ngerasa kesepian karena teman-teman yang biasanya ada di sekitar Kakak sekarang punya kehidupan sendiri?"

Bima terdiam sesaat. Matanya mengerjap pelan.

"Ngerasa kehilangan, tapi kita nggak bisa protes sama keadaan." Andini tersenyum pahit menatap Bima.

"Kamu kangen Ana? Kan tinggal main ke rumahnya sih," ucap Bima kalem.

Andini mengerucutkan bibirnya mendengar jawaban Bima. Memilih duduk di samping kakaknya itu dengan tangan yang tetap memeluk boneka. Ini bukan hanya perkara tentang Ana.

"Lagian Ana kan nikahnya sama Abang kita sendiri, Din. Artinya dia bukan hanya sekadar sahabat kamu aja, tapi udah jadi kakak ipar. Udah termasuk salah satu keluarga inti Hadikusuma," terang Bima.

"Ini bukan cuma tentang Ana."

Meski lirih, namun nyatanya Bima dapat mendengar suara adiknya dengan jelas. Melihat wajah sedih Andini saat ini, otaknya seketika menghubungkan dengan absennya Adrian beberapa waktu terakhir. Juga canggungnya pertemuan mereka sore tadi.

"Adrian, ya?"

Andini hanya diam, namun helaan napasnya yang terdengar berat membuat Bima meyakini ucapannya barusan.

Setelah tahu jika sahabatnya ternyata memang sedang dekat dengan gadis bernama Tiara itu, Andini berusaha maklum. Tapi tetap saja ia merasa ada yang berbeda sekarang.

Baiklah, ia mengaku jika merasa kehilangan.

"Apa kalo kita punya pacar jadi langsung lupa sama temen, ya, Kak?" Pertanyaan itu akhirnya keluar juga. Andini menatap Bima dengan kening berkerut. "Apa kalo punya pacar itu udah nggak bisa lagi main, nongkrong atau jalan sama sahabat?"

Bima tersenyum tipis mendengar pertanyaan adiknya.  Di usapnya pelan kepala Andini dengan sayang.

"Memang kalau ketemu orang baru yang menarik perhatian, biasanya kita akan lebih fokus ke orang baru itu daripada hal lain, termasuk teman. Wajar sih, namanya juga baru dekat," Bima membaringkan tubuhnya pada kasur Andini dengan kedua tangan menyangga kepala. Matanya lurus menatap langit-langit kamar adiknya yang di cat putih. "tapi nggak perlu takut, yang namanya teman sejati nggak akan melupakan temannya gitu aja. Apalagi kalian sudah kenal lama."

Andini hanya diam mendengarkan, namun hatinya belum merasa puas dengan jawaban Bima.

"Gini deh, kalau memang Adrian serius sama cewek tadi, pasti di kenalin ke kamu kok, ke Ana juga. Kalau dia menganggap persahabatan kalian itu berharga, dia pasti mau pasangannya juga mengenal orang-orang terdekat di hidupnya. Mungkin untuk sekarang karena masih dalam tahap pedekate, dia belum mau bawa itu cewek."

BEST MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang