Memilih kabur dan bersembunyi dari kejamnya dunia, nyatanya tidak menjadikan masalah menghilang. Yang ada hanya menambah lama kegelisahan yang merasuki diri.
Andini tahu, dirinya dan Adrian belum selesai. Mereka masih harus duduk bersama membicarakan ini semua. Bagaimana menyikapi kondisi saat ini, mengenai perasaan Andini, mengenai sikap Adrian. Semuanya.
Namun Andini belum siap. Ia belum cukup mampu untuk bertemu Adrian. Perasaannya masih di ombang-ambing. Bahkan sudah empat hari ini ia absen di Belle. Sengaja mengerjakan semua pekerjaannya dari apartemen Bara.
Sudah pukul sembilan malam, tapi Andini masih belum bisa memejamkan mata. Sejak tadi ia hanya bolak-balik di atas tempat tidur mencoba mencari posisi nyaman agar segera terlelap.
Gusar karena matanya tidak juga mau terpejam, Andini akhirnya memutuskan untuk pergi keluar. Tidak jauh-jauh, hanya sekadar menikmati suasana malam di coffee shop lantai bawah saja.
Memang sejak dirinya mengungsi ke sini, Andini tidak pernah keluar dari unit Bara. Dia hanya pernah berbelanja untuk mengisi kulkas abangnya, persediaan selama ia menumpang tinggal di sana.
Setelah mengganti celana piamanya dengan jin sebatas lutut, Andini kemudian melapisi kaus putihnya dengan sweter berwarna abu-abu yang nyaman. Mengambil dompet dan ponsel yang ada di atas nakas, gadis itu lalu melangkah keluar.
Begitu sampai, Andini cukup terkejut mendapati kafe yang di datanginya malam ini ternyata masih cukup ramai. Padahal saat ini bukanlah akhir pekan.
Tapi siapa peduli? Setiap orang berhak menikmati harinya kan? Termasuk juga Andini.
Setelah memesan secangkir cappuccino, Andini memilih menyesapnya di kursi samping jendela besar di pojok ruangan. Dari tempat ini dirinya bebas melihat pemandangan di luar, juga ramainya orang-orang yang ada di dalam tanpa merasa terganggu.
Ponsel yang tadinya ia masukkan ke dalam saku celana berdenting pelan. Bunyi notifikasi yang menandakan pesan masuk. Merogoh sakunya, Andini mendapati pesan baru dari Ganendra di sana, menanyakan kabarnya.
Andini tersenyum singkat. Jari-jarinya menari cepat untuk membalas pesan itu. Memang selama mengungsi ini, ia dan Ganendra terus bertukar kabar seperti biasa.
Lelaki itu menanyakan kapan bisa mengajak Andini keluar, tapi gadis yang sedang termangu menatap rinai hujan yang baru saja turun itu hanya membalas nanti akan mengabari.
Suasana malam di tambah gerimis kecil yang tiba-tiba turun membuat Andini mendesah. Matanya mengitari seisi ruangan yang dipenuhi oleh kumpulan anak muda yang terlihat asyik bercengkerama. Ada juga beberapa orang yang datang berpasangan, terlihat cukup mesra walau hanya bergandengan tangan tanpa saling menatap.
Sepertinya hanya dirinya yang datang seorang diri ke tempat ini.
Sial.
"Dini."
Menoleh ke belakang, Andini mendapati sosok yang tidak ia sangka akan bertemu di sini.
Dengan senyum riang menghiasi wajah sosok itu mendekat lalu menarik salah satu kursi kosong yang ada di depan Andini. Tangannya mengusap kedua lengan dan rambutnya yang sedikit basah karena gerimis.
"Gabung ya?"
Andini hanya bisa mengangkat kedua alisnya dengan bibir mengulas senyum. Sebenarnya ia ingin sendirian malam ini, tapi terlalu tidak sopan jika menolak.
"Lo tinggal di sini?" Andini akhirnya bertanya basa-basi. Tidak mungkin mereka hanya berdiam diri.
"Nggak sih," sahut Tiara. "Aku mau nginep di tempat sepupu, lantai sepuluh." Gadis itu kemudian memanggil pelayan untuk memesan, sementara Andini hanya memperhatikan dalam diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEST MATE
Romance"Kenapa lo jadi marah-marah sih? Lo ada masalah kalo gue mau balikan sama Nendra?" Lelaki di hadapannya hanya diam membuang muka. . . . Mempertaruhkan harga dirinya Andini bertanya, "Lo suka sama gue?"