-AUTHOR P.O.V-
"SELAMAT DATANG PARA BINTANG DUNIA"
Spanduk berukuran 1 x 4 meter berlatar belakang putih dengan berbagai animasi profesi di dalamnya menyambut langkah pria bertubuh gempal dengan kilau perak yang menyebar hampir di seluruh rambut di kepala dan wajahnya. Dengan kemeja putih berlengan pendek, celana safari berwarna krem, dan sandal kulit hitam terbuka menemani langkah pria bernama Jarwo.
Di samping tangan kanannya ia menggenggam tangan mungil dari gadis cantik dengan hiasan bando berwarna merah muda dihiasi dengan bunga berwarna kuning. Sambil berjalan ia mengusap-ngusap kumis dan janggutnya yang membuat dirinya terlihat gagah meski sudah berusia 60 tahun.
Perlahan ia mulai memasuki salah satu sekolah swasta yang berpengaruh di Kota Hujan, Bogor. Pandangannya mengitar gedung berlantai 4 dengan warna dinding yang senada dengan celana yang dipakainya. Ia mulai takjub saat menemukan kenyataan bahwa sekolah tersebut memiliki fasilitas yang sangat lengkap.
"Bagus ya, Yang?" tanya gadis kecil di sampingnya yang menyadarkan Jarwo dari rasa kagum yang luar biasa.
"Ah? Iya. Eyang baru kali ini lihat sekolah dengan fasilitas yang sangat lengkap."
"Iya, makanya Zahra pengen banget sekolah di sini, Yang. Temen-temen Zahra banyak yang sudah diterima di sini loh, Yang."
"Iya?" tanya Jarwo lalu mendapat anggukan kecil dari cucunya. Melihat antusias Zahra yang begitu besar, hatinya mulai menyesali sesuatu. "Tapi Zahra harus ingat kalau Zahra belum resmi diterima di sekolah ini seperti teman Zahra yang lain. Kamu masih berstatus cadangan."
"Maksudnya cadangan apa, Yang?" tanya Zahra dengan wajah lugu sekaligus bingung.
"Maksudnya, kalau pendaftar yang sudah diterima di sekolah ini tidak pindah ke sekolah lain, itu berarti kamu tidak akan diterima di sekolah ini. Tapi kalau ada yang mengundurkan diri atau pindah ke sekolah lain, kemungkinan kamu akan bersekolah di sini."
"Umhhh...Padahal Zahra pengen banget sekolah di sini." kepalanya tertunduk lesu.
Jarwo kembali menggenggam tangan cucu kecilnya itu dan membawanya ke ruang pendaftaran sambil menyerahkan persyaratan yang harus dibawa. Ia lalu mengajak Zahra untuk menunggu sambil duduk di kursi yang telah disediakan. Matanya mengitar menghitung jumlah calon murid berstatus cadangan di sekolah itu. Hatinya semakin berat tatkala menghitung jumlah murid cadangan yang terakhir.
"Zahra Nabila." terdengar suara wanita memanggil nama Zahra. Dengan sigap Zahra pun menghampiri sumber suara. "Zahra, kamu ikut Ibu ya ke ruang tes kesehatan." wanita berambut pendek sebahu itu mengulurkan tangannya pada Zahra dan menerima sambutan yang hangat dari Zahra.
Zahra mengikuti serangkaian tes kesehatan.
"Wah, kamu beratnya kurang nih..." ucap wanita yang lainnya. "Makan yang banyak ya, biar sehat. Sayang dong udah cantik tapi nggak sehat."
"Kalau Zahra makan banyak, Zahra diterima di sekolah ini, Bu Radea?" ia membaca name tag yang tersemat pada kerudung wanita yang ada di depannya.
"Umh...." Radea sedikit bingung untuk menjawabnya. "Kamu yakin kalau kamu akan diterima di sekolah ini?" ia balik bertanya.
"Kata Eyang, aku cuma cadangan. Jadi aku nggak yakin, Bu." jawab Zahra lesu.
"Eh, kok bilang begitu sih? Nggak boleh pesimis dong, harus optimis." ucap Radea sambil mengepalkan tangannya memberi semangat pada Zahra.
"Pesimis itu apa? Kalau optimis?"
"Pesimis itu maksudnya kamu orang yang tidak punya harapan, kalau optimis itu kebalikannya. Ucapan adalah doa loh."
"Iya?" tanya Zahra yang mendapat anggukan dari Radea. "Kalau gitu aku optimis diterima di sekolah ini. Aku bakal jadi murid di sekolah ini."
"Nah, gitu dong. Tos dulu!"
#prok tangan mereka beradu. Radea mengacungkan jempol, lalu membulatkan jempol dan telunjuknya pada Zahra sambil diikuti kedipan sebelah matanya.
************************************
Jarwo memerhatikan aktivitas Zahra di ruang tes. Beberapa saat berlalu membuatnya menyadari sesuatu dan berusaha mengingatnya. Entah mengapa pikirannya seperti tergelitik, memaksa untuk berusaha mengingat sesuatu yang sudah puluhan tahun tak dilihatnya tapi tetap dirasakannya, cinta!Ia memerhatikan setiap gerak wanita yang dipanggil Bu Radea oleh cucu terkasihnya. Otaknya mulai menerka-nerka, ingatan seperti apa yang dimilikinya sehingga membuat sesuatu berputar di hatinya?
Entah harus dari mana ia merangkai puzzle ingatan yang ingin diselesaikan saat itu juga. Ia melihat alis Radea yang terbentuk seperti ukiran tipis yang membuat mata besarnya semakin tegas menampakkan pancaran aura yang berbeda. Hidungnya, bibirnya, lalu senyumnya dan ia berhenti pada sebuah senyuman yang benar-benar dikenalinya.
Hatinya merasa hangat. Sehangat bunga mawar merah yang berusaha untuk tetap merekah meski senja sudah mulai memasuki jendela kamar bernuansa putih dengan hiasan mawar yang mulai menghitam di atas meja kayu berwarna coklat. Hangat dan sendu melihat perpaduan warna merah yang menghitam, dicampur dengan cahaya jingga di senja hari. Hatinya tergerak untuk menghampiri wanita itu, Radea.
"De!" teriak seorang pria dengan kemeja putih berlengan panjang, celana hitam, dan sepatu pentopel berwarna hitam menghentikan langkah Pak Jarwo. Rambutnya tersisir rapi dengan aroma gel yang menusuk hidung bulat Radea.
"OY!" refleks Radea menyahut dengan gaya tomboynya. "Aist! Dibilangin kalau lagi banyak orang, manggilnya jangan teriak! Keliatan kan premannya!" Radea mengedarkan senyuman terpaksanya pada orangtua murid yang melihat kejadian itu.
Pria itu menghampiri Radea dengan wajah yang sumringah, lalu merangkul bahu Radea dan dengan segera mendapat tepisan dari Radea.
"Kenapa?!" bisik Gibran saat Radea hanya menatap sinis padanya. "Lo diminta buat bantuin bagian wawancara sama kepsek".
"Sama lo dong?" bisik Radea.
"Yoi, kan udah gue bilang kalau kita ini jodoh!" bisik lelaki itu mengedipkan matanya menggoda Radea.
"Ngga jelas lo, Gib!" ucap Radea sembari lari meninggalkan Gibran.
"Ih kok gitu sih, Beb?" Gibran mengejar Radea dan berusaha merangkulnya lagi. "Bebeb....Bebeb...Kan kita jodoh, Beb!!!!" lirih Gibran berusaha memanggil Radea karena diperhatikan oleh beberapa perwalian.
"Ihhhhh! Lo aja sono sama embe!" bisik Radea saat Gibran berada tepat di belakangnya.
Tanpa disadari keduanya, Pak Jarwo memerhatikan semua kejadian di hadapannya. Ia seperti sedang melihat reka ulang kejadian beberapa puluh tahun lalu. Hatinya semakin yakin bahwa ia dan Radea memiliki hubungan yang spesial.
************************************
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA PAK JARWO
De TodoSesuatu di masa kini mendatangkan masa lalu di hati Jarwo yang membuatnya merencanakan sesuatu. Takdir memang tak pernah ada yang tahu...