BAB 2: Air Mata

17 0 0
                                    

Gemuruh angin yang berkawan hujan bukanlah hal yang spesial di Kota Bogor. Bahkan dentuman-dentuman petir yang saling menyahut dengan kilapan cahaya sudah tentu pula berkawan dengan kota yang berjuluk Kota Hujan.

Seorang gadis dengan mata bulat berkaca-kaca menatap layar ponselnya. Dengan gemetar dan nyawa juga logika yang tak menerima, jarinya menekan beberapa tombol.

"Lo serius, Na?" tanya Radea pada seorang teman lamanya. "Gue harus gimana dong? Lagi ada pengumuman penerimaan siswa baru nih! Nggak bisa apa lo kasih tau gue dari beberapa waktu sebelumnya? Minimal kemarin gitu!" cecar Radea.

"Sorry, gue disuruh Abang gue. Kan lo tau sendiri dia gimana? Dia sengaja nggak mau kasih tau lo, dia takut goyah. Tapi pada akhirnya dia sendiri yang rengek minta lo harus, wajib, kudu datang untuk anter dia ke bandara." jelas Nana, sahabat juga adik dari mantan kekasih Radea, Adam.

"Ya udah, keberangkatanya jam berapa?" terlihat Radea menyimak penjelasan dari ujung sambungan teleponnya. Bibirnya bergumam sendiri, seperti sedang merapalkan mantra agar semua berjalan sesuai kehendaknya. "Tunggu gue di bandara!"

Sambungan telepon pun terputus. Radea segera berlari menuju ruang Pak Rekso dan menjelaskan semua dengan sedetil-detilnya.

"Susah ya jadi kamu, De!" ucap Pak Rekso.

"Iya, hidup saya sudah susah, punya temen yang nyusahin lagi, Pak. Makanya Bapak jangan kayak temen saya ya, Pak. Izininlah, Pak. Lagi pula kan hari ini hanya pengumuman dan pendaftaran ulang saja, Pak."

"Hmmm..." Pak Rekso memangku dagunya dengan tangan kanannya yang bersandar pada meja kaca berwarna hitam. "Gimana ya? Saya yakin guru yang lain pasti nyariin kamu deh, apalagi si Gibran! Nanti malah kamu yang nyusahin saya!"

"Yah, Bapak....." mata Radea mulai berkaca-kaca. Hari ini adalah salah satu hari paling rumit baginya. "Saya janji deh, Pak. Kalau hari ini adalah hari terakhir saya nyusahin Bapak. Cius deh. Enelan!" ucap Radea manja. Ia memang sudah menganggap kepala sekolah yang ada di hadapannya sebagai ayahnya sendiri.

"Kamu yakin dengan janjimu itu?"

"Insyaallaah, Pak." Radea memberikan gaya hormat prajurit pada komandannya.

"Nanti kalau Gibran rengek minta lamarin kamu buat jadi mantu saya gimana? Kamu nggak bakal nyusahin saya kan?"

"Eh, Bapak? Kok gitu?"

"Lah iya! Seluruh warga sekolah ini tau toh kalau anak saya si Gibran itu naksir kamu! Nanti kalau dia rengek minta lamarin kamu gimana? Terus kalau kamu menolak gimana? Gibran pasti makin merengek dan nyusahin saya nantinya!"

"Emh..." Radea kebingungan. "Aduh, Bapak. Jangan kasih saya pertanyaan kayak gitu otak saya lagi kepepet nih, Pak."

"HAHAHAHA." Pak Rekso tertawa puas. "Yowis. Kamu saya izinkan untuk pulang lebih cepet."

"Asiiiiiikkkkkkkk!!!!!!" teriak Radea spontan.

"Tapi kamu harus jadi mantu saya!"

"IIIIHHHH BAPAK MAAHHHH!" refleks bibir Radea manyun.

"Iya, iya. Hahahaha. Sudah, pergi sana! Hati-hati, jangan sampai kenapa-napa. Saya nggak mau loh Gibran jadi perjaka tua."

"Bapak!!!!!!!!" Radea lalu menarik tangan kanan Pak Rekso dan menciumnya, lalu kabur.

Radea menekan beberapa tombol di ponselnya lalu membereskan barang-barangnya dengan tergesa, hingga tanpa sadar ia menjatuhkan sesuatu.

Dengan hati yang gelisah Radea berlari dari lantai dua menuju ke gerbang sekolah dengan tergesa-gesa. Walau bagaimanapun Adam adalah pria yang pernah singgah di hatinya selama kurang lebih lima tahun. Mendengar ia akan pergi untuk mengurus usaha keluarga di luar negeri selama beberapa tahun dan tidak diizinkan pulang sebelum mampu membuka cabang baru adalah hal yang mustahil dan akan membuat perpisahan yang sebenarnya tak perlu ditangisi menjadi sebuah kisah klise yang dramatis.

CINTA PAK JARWOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang