BAB 4: Pemaksaan

10 0 0
                                    

Gibran yang tengah berbicara di depan orangtua murid menjadi tidak fokus saat ia menyadari bahwa wanita yang disukainya bertingkah seperti sedang mencari seseorang di antara kerumunan yang tengah mendengarkan paparannya. "Jadi, nanti hari terakhir MPLS akan diadakan perkemahan untuk mempererat hubungan antara siswa dengan siswa, juga dengan guru-gurunya, Bapak/Ibu sekalian. Dan penanggung jawab dari kegiatan perkemahan tersebut adalah Bu Radea, benar begitu, Bu Radea?" ucap Gibran dengan sengaja untuk mengambil perhatian Radea.

Radea yang duduk di pojok kiri panggung bersama beberapa guru menjadi kikuk dan terkejut. "Ah? Iya." ucapnya singkat sambil memberikan senyuman terpaksa pada orangtua murid di hadapannya. Ia melihat Pak Amin membawa tumpukan foto copyan, lalu bergegas menghampirinya. "Pak, mau dibagiin kan?"

"Iya, Bu."

"Sini biar saya aja." ucap Radea sambil menarik paksa lembaran yang dibawa Pak Amin.

"Jangan, Bu. Ini kan tugas saya." ucap Pak Amin selaku staf di sekolah tersebut sambil menahan kertas yang hendak diambil Radea.

"Ih gak apa-apa, Pak. Beneran deh. Atau bagi dua aja ya?" bujuk Radea yang mendapat anggukan dari Pak Amin. Ia pun tersenyum karena misinya berhasil. Ia berniat untuk mencari seseorang dari kerumunan orangtua siswa tersebut.

"Ya, Bapak/Ibu sekalian, kertas yang akan Bapak/Ibu terima tersebut merupakan kebutuhan Ananda selama MPLS dan perkemahan nanti. Mohon dibaca dan bisa ditanyakan jika memang ada sesuatu yang belum dipahami." ucap Gibran sembari berjalan ke arah kerumunan.

Radea mengedarkan pandangannya sambil membagikan kertas foto copyan. Ia tak sadar bahwa seseorang berada di sampingnya untuk menyenggolnya. "Astagfirullah!" ucapnya refleks saat bahunya menabrak bahu seseorang.

"Nyari siapa sih?" tanya Gibran yang memang sengaja menabrakkan bahunya pada Radea. "Bapak yang berkumis itu ya? Yang kemarin cucunya ditabrak sama kamu?"

Radea seketika mengerutkan dahinya sambil menatap Gibran. "Hooh." jawabnya singkat.

"Dia nggak diterima, jadi untuk tahun ini semua murid cadangan nggak diterima." jelas Gibran.

Sekolah Putra Putri Bangsa memang sekolah yang memiliki reputasi yang baik di Kota Bogor. Tiap tahunnya mereka hanya akan mengambil lima belas murid cadangan, karena setiap siswa yang mendaftar di sana pasti akan melanjutkan pendidikannya di sekolah tersebut, tidak akan mengundurkan diri kecuali ada hal yang mendesak seperti pindah ke luar kota. Setiap pendaftar yang masuk ke dalam daftar sudah tentu lebih memilih sekolah PPB ketimbang sekolah negeri. Jadi, pihak sekolah hanya akan mengambil lima belas murid cadangan, salah satunya adalah cucu Pak Jarwo, Zahra Nabila.

"HAH?" Radea terkejut, dengan refleks ia memberikan kertas yang sedang dibagikannya pada Gibran. "Bagiin ya."

"Hey, mau ke mana?" tanya Gibran, tapi Radea hanya mengedipkan satu matanya yang membuat Gibran hanya bisa menghela napas. Ia tahu pasti Radea akan berbuat sesuatu.

************************************
#tok tok tok

Terdengar suara ketukan pintu di ruang kepala sekolah. Pak Rekso mempersilakannya masuk. "Ya, masuk." ucap Pak Rekso yang kemudian disusul dengan wajah kebingungan karena melihat ekspresi Radea. "Kenapa, De? Kamu diganggu Gibran lagi?" Radea hanya menggeleng. "Kenapa? Ada sesuatu yang berubah? Emang iya? Setahu saya semua sudah sesuai dengan rapat terakhir kita."

"Bukan, Bapak...."

"Loh, terus apa dong?" tanya Pak Rekso bingung.

"Bapak....."

"Iya, Ibu...." ejek Pak Rekso.

"Bapak mah..."

"Ibu mah..." ejeknya lagi

"Bapak ist!"

"Ada apa ist?"

"Pak, beneran ya anak-anak cadangan nggak ada yang diterima?"

"Iya, biasanya juga begitu. Apalagi tahun ini hampir 90% yang berasal dari sekolah dasar kita. Kenapa toh?" tanya Pak Rekso saat melihat Radea masih menekuk wajahnya.

"Pak... nggak bisa apa anak cadangan diterima aja, Pak?"

"Loh loh loh, ruangannya mau di mana? Ada lima belas anak loh itu, separuhnya dari kapasitas ruang kelas kita."

"Satu aja, Pak. Yang nilai seleksi akademiknya teratas." rengek Radea.

"Loh, kamu nggak bilang kalau ada saudaramu yang daftar ke sini toh?"

"Bukan saudara saya, Pak."

"Lah, terus siapa?"

"Nggak tahu. Anak orang aja."

"Lah iya toh anak orang. Masak anak kambing! De! De! Kamu tuh suka lucu. Haha." Pak Rekso tertawa.

"Ih, Bapak. Bukan gitu."

"Terus gimana? Kenapa kamu ingin dia diterima? Alasannya apa?"

"Nggak tahu. Cuma pengen dia diterima aja, Pak."

"Loh kok gitu? Dia bukan saudara kamu, tapi kamu kepingin banget dia diterima? Gimana toh? Bener nggak ada hubungan saudara sama kamu? Atau dia anak mantan pacar kamu?"

"Lah, Bapak. Mantan saya udah pergi ke luar negeri, Pak. Ketemu jodohnya, kangguru!"

"Terus kenapa toh?"

"Nggak tahu, Pak. Cuma pengen aja dia diterima, lagian nilai akademiknya tertinggi loh, Pak. Bahkan dia lebih tinggi dari siswa yang sudah diterima."

"Alasanmu kurang kena ah ke Bapak. Masak nggak tahu."

"Umh... Kuch Kuch Hota Hai, Pak." jawab Radea bingung.

"Bahasa Korea tuh?" tanya Pak Rekso.

"Bahasa India, Pak. Masak Bapak nggak tahu."

"Kamu bukannya k-popers ya? Sekarang jadi Indianers?"

"Indianers apaan, Pak?"

"Fansnya film India. Apa itu Kuch Kuch Petai Pei?"

"Kuch Kuch Hota Hai, Pak."

"Iya, itu."

"Sesuatu terjadi di hatiku artinya, Pak."

"Wah, susah ini kalau urusannya sama hati. Tapi, tetap saja ndak bisa diterima, De. Kursinya juga kan sudah penuh. Berdoa saja semoga dia dapat sekolah terbaik ya, aamiin."

Radea tertunduk lesu dan pergi meninggalkan ruangan Pak Rekso setelah mengucapkan terima kasih. Entah mengapa hatinya terasa berat.

Seharian ini Radea memikirkan percakapannya dengan Pak Rekso di ruang kepala sekolah. Ia memikirkan kalimat terakhir dari Pak Rekso. Hati? Urusan hati? Ada apa dengan hatinya yang tetiba memaksa untuk memperjuangkan Zahra? Kenapa dia begitu ngotot ingin Zahra sekolah di PPB? Ada hubungan apa dia dengan Zahra? Apa hanya karena rasa bersalahnya telah menabrak gadis kecil itu? Radea masih belum menemukan jawabannya.

"Sekolah terbaik? Semoga aja Zahra dapat sekolah terbaik ya, aamiin." lirih Radea.

************************************

CINTA PAK JARWOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang