1. Kimberly

94 17 20
                                    

Kimberly menatap sang ibu yang kini tertidur pulas, gurat-gurat halus kini mulai terlihat di wajahnya yang pucat.

Ada secuil ketidak relaan, melihat kondisi sang ibu saat ini. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya seorang remaja, tanpa uang dan kedudukan. Jadi, bagai mana dia bisa menyuarakan isi hatinya.

Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan, adalah mencoba terus merawat sang ibu. Meski dengan segala keterbatasan.

Kimberly masih bersyukur, mereka memiliki tempat untuk berteduh dari terik panas matahari dan hujan. Walau pun tempat ini tidak cukup layak untuk dihuni.

Tok... tok... tok....

Sebuah ketukan terdengar dari luar, membuat Kimberly mengernyitkan keningnya. Dia menatap jam di atas meja belajarnya, pukul 22.30 Wib.

Dengan enggan, Kimberly berjalan ke arah pintu. Ingin melihat, siapa yang datang.

Begitu dia membuka pintu, sosok gempal berdiri di hadapannya dengan sombong. Matanya menatap Kimberly dengan tatapan mengejek.

"Ada apa? Apakah kamu tidak tahu ini sudah jam berapa?" tanya Kimberly ketus.

"Jika nona muda tidak mencarimu, apakah kamu masih berpikir jika aku mau datang ke tempat kumuh seperti ini," jawab sang pelayan tak kalah ketus.

"Untuk apa dia mencariku?"

"Kamu akan tahu begitu datang ke sana." Pelayan gempal tersebut langsung berbalik dan pergi meninggalkan Kimberly.

Langkahnya yang terkesan terburu-buru, membuat tubuhnya bergetar seperti terkena gempa.

Kimberly yang melihat itu semua, merasa cukup terhibur. Lalu, dengan enggan dia menutup pintu dan menyeret langkahnya menyusuri jalan berbatu.

Kimberly, hanya menggunakan cahaya bulan untuk membimbing langkahnya. Karena, jalan yang dia lalui tidak menggunakan lampu sebagai penerang.

Tempat ini adalah yang tergelap. Sebuah sudut yang bahkan tidak akan terlihat di siang hari, karena tingginya pohon-pohon yang tumbuh di sekitar.

Kimberly menatap bagunan megah di depannya, rumah itu seperti istana. Berdiri dengan angkuh dan bermandikan cahaya lampu.

Berbanding terbalik dengan rumah kecil yang dia huni, hanya ada 1 lampu di rumah kecil itu. Jadi, tidak pernah ada cahaya berlebih. Kecuali, pendar yang mengintip di balik tirai lusuh.

Tidak ingin mencari masalah untuk dirinya sendiri, Kimberly mempercepat langkahnya. Hingga, tidak butuh waktu lama untuk dirinya sampai dan berdiri di depan sosok cantik bergaun unggu.

"Ada apa?" tanya Kimberly

"Bantu aku mengerjakan tugas. Ingat! Harus dikerjakan dengan sempurna. Dan ini, upah untukmu." Nicole melempar pecahan uang 20 ribu ke arah Kimberly.

Tangannya seperti gatal memegang uang receh tersebut, hingga dia terus menepuk-nepuk tangannya.

"Ingat! Nilai sempurna," ucap Nicole. Lalu dia meninggalkan Kimberly dengan tugas-tugas sekolah miliknya.

Kimberly hanya menghela napas, lalu memungut upah 20 ribu yang menjadi haknya.

"Seandainya ada lebih banyak tugas," bisik Kimberly.

Untuk 1 lembar tugas, Nicole selalu mengupahnya seharga 10k.

Walau pun tidak seberapa, Kimberly merasa sangat beruntung. Karena selain dia sendiri bisa belajar, dia pun mendapat upah untuk menyambung hidupnya esok hari.

Tanpa membuang waktu, Kimberly langsung mengerjakan tugas-tugas tersebut.

Dengan otaknya yang di atas rata-rata, tidak butuh lama untuk dia menyeselasaikan semua pertanyaan.

Merasa tidak ada lagi yang harus dikerjakan, dia membereskan semua buku dan mulai berjalan ke arah kamar Nicole.

Namun, sebelum dia menyentuh susuran tangga. Sebuah suara menghentikan langkahnya.

"Berhenti! Jangan sekali-sekali kamu berani menyentuh barang-barang di rumah ini!" teriakan seorang wanita terdengar membahana.

"Maaf, Bibi. A---"

"Siapa bibimu?" Hardik sang wanita paruh baya.

"Ma---maaf, Nyonya," jawab Kimberly.

Tangannya terkepal erat mendengar amarah sang bibi. Dia mencoba menahan diri, agar tidak marah dan mengumpat dengan kata-kata kasar.

"Apa yang kamu lakukan?"

"A--aku hanya ingin mengembalikan buku- buku ini pada, Nicole."

"Tidak perlu, sudah saya bilang. Kamu dilarang masuk ke lantai atas, letakan buku-buku tersebut di atas meja. Lalu, segera pergi dari rumah ini."

Kimberly hanya mengangguk, lalu menyimpan semuanya di atas meja.

"Aku pamit," ucap Kimberly.

Dia tidak menunggu jawaban dari siapa pun, hanya menundukan kepalanya dan berjalan meninggalkan rumah megah tersebut.

"Dasar, jika dia tidak berguna untuk study, Nicole. Bagai mana mereka masih bisa tinggal di tanah ini," geram wanita paruh baya.

"Sudahlah, untuk apa kamu memikirkan mereka. Lagi pula, mereka tidak mengganggu---"

"Tidak mengganggu," raung sang wanita, "apa kamu gila, mereka adalah duri untuk hidupku."

"Itu semua sudah berlalu, untuk apa terus dipikirkan. Kalau kamu tidak suka, kamu bisa mengusir mereka. Aku tidak lagi peduli kepada keduanya," ucap sang pria.

"Lalu, bagai mana dengan tugas-tugas, Nicole?"

"Kita bisa mencari orang lain."

"Pemborosan," cibir sang wanita.

"Lalu apa mau kamu?"

"Sudahlah, dari pada uangnya untuk membayar orang lain. Lebih baik buat aku belanja," jawabnya manja.

Direngkuhnya tangan sang suami, lalu keduanya segera pergi menuju kamar mereka.

Sementara itu, Kimberly yang mendengar percakapan keduanya. Hanya bisa menggertakan giginya.

Mata yang tadinya teduh, kini sedikit memancarkan kilat.

Dada Kimberly pun terasa sesak, dia mencengkeram bajunya dengan erat hingga terdengar sobekan yang kemudian menyadarkannya.

"Sial. Gara-gara mereka, aku jadi menyobek baju kesayanganku," rutuk Kimberly.

Dia mengelus-ngelus sayang bajunya yang kini terlihat usang, sebuah sengatan berkedut di bola matanya. Membuatnya berselimut kabut duka.

Dengan kasar, Kimberly menyusut kedua matanya. Mencoba menghentikan kristal bening yang terancam mengalir.

Tanpa berpikir lagi, Kimberly langsung pergi dan berlari menuju tempat seharusnya dia berada.

🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣


The Sweetest RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang