19. Dimulainya Pembayaran

17 2 5
                                    

Bukan untuk aku
Bukan pula untuk waktu
Hanya ingin engkau tahu
Jika engkau bukanalah pemilik tabu

*********

"Apa semua sudah sesuai rencana?" Kimberly melihat dokumen di tangannya.

"Iya, semua telah sesuai rencana. Saat ini, Nona. Memiliki 35% saham di PT. RR."

"Bagus, teruskan melobi para pemegang saham yang lainnya. Ingat! Jangan sampai tertunda."

"Baik, kita hanya membutuhkan 10% lagi."

"Keluar," usir Kimberly.

Amelia hany menganguk, lalu segera keluar dari kantor Kimberly.

"Kalian bersiaplah," bisik Kimberly.

Dia menatap beberapa dokumen yang bertumpuk di depannya. Sebuah senyum dingin, kembali menghias bibirnya yang berwarna merah darah.

Ini adalah awal pembayaran untuk mereka.

Mengambil bingkai photo, Kimberly menatap lukisan mini milik mendiang ibunya--Anita.

Ya, Kimberly tidak mempunyai photo mendiang. Karena saat itu, mereka bahkan tidak punya uang untuk memberi perut mereka makanan.

"Maaf, jika Kim tidak bisa menepati permintaan ibu. Kim tidak bisa melepaskan rasa sakit ini." Kimberly mengusap lukisan tersebut dengan sayang.

Tanpa terasa, air matanya menetes. Membasahi kanvas.

Dia memeluk lukisan itu--seolah itu adalah ibunya. Dia menumpahkan semua kerinduannya, sakit hati dan penyesalannya.

**********

Sementara itu, jauh dari tempatnya saat ini. Nicole menatap wajah Adrian--suaminya.

"Apa kamu gila?" Teriak Adrian.

"Ya, aku gila. Aku gila karena kamu yang terus saja mengacuhkan aku."

"Aku capek. Kamu keluarlah." Adrian membuka dasinya dengan enggan.

Saat ini, kepala dia sangat pusing.

Setelah seharian mengurus perusahaan miliknya, dia berharap menemukan kedamaian ketika sampai di rumah. Tapi apa yang dia dapatkan?

Mungkin, ini adalah kutukan untuknya. Karena tidak pernah bisa melupakan kesalahan gadis yang dia cintai dalam diam.

Bertahun-tahun Adrian mencari keberadaannya. Tapi nihil, dia tidak menemukan apa pun.

"Kak ...," rengek Nicole.

"Aku capek, kamu keluarlah."

"Kakak kenapa sih? Selalu saja cuekin aku."

"NICOLE," eja Adrian. Matanya menyorot tajam wanita yang telah dia nikahi selama hampir 6 tahun ini.

"Iya--iya, aku keluar," teriak Nicole. Dia menghentakkan kakinya, lalu membanting pintu kamar dengan keras.

"Sialan, sampai kapan aku harus bertahan."  Batin Nicole.

Rasa cinta itu, kini mulai berbalik dengan rasa lelah.

Ya, Nicole mulai lelah menghadapi kedinginan suaminya.

Bahkan tidak terkecuali ketika menyangkut urusan tempat tidur.

Dering ponsel, mengaburkan kemarahan Nicole. Sebuah senyum, tampak menghias bibir yang beberapa detik lalu masih mencibir kesal.

"Ya, honey?" Nicole memulai hubungan jarak jauh tersebut.

"Oke, tunggu aku. Sebentar lagi aku akan menyusulmu."

Nicole mengakhiri pembicaraan mereka. Lalu segera bergegas mengambil tasnya di dalam kamar.

Suara air yang mengalir, hanya menambah kejengkelan Nicole.

Tanpa melihat dua kali, dia menyambar tasnya. Lalu segera keluar.

Tapi, belum jauh dia melangkah. Suara gadis kecil menghentikannya.

"Mamih mau ke mana?"

Nicole menatap bocah laki-laki di depannya.

"Mamih mau pergi ke luar. Kamu sama papih aja."

Nicole kembali melangkahkan kakinya.

"Mamih tunggu."

Bocah tersebut berlari mengejar Nicole.

"Apa lagi sih?" teriak Nicole jengkel.

"Rafa mau ikut sama, Mamih," ujar bocah tersebut penuh harap.

"Tidak, kamu di rumah saja," tolak Nicole.

"Mamih." Air mata kini mulai mengalir di pipi Rafa. Sebagai seorang anak, dia jelas memiliki semua mainan yang dia inginkan. Tapi tidak dengan kasih sayang kedua orang tuanya.

Papihnya--Adrian, selalu saja menatapnya dengan dingin. Sedangkan Mamihnya--Nicole, selalu jengkel setiap kali dia memanggilnya.

Terkadang, jiwa kecilnya yang rapuh itu. Acapkali menangis, menjerit.
Dia ingin seperti teman-temannya yang lain. Yang bisa main dengan ayahnya, yang dimanja oleh ibunya.

"Mamih," teriak Rafa. Kali ini dia tidak ingin menyerah, dia berlari mengejar Nicole. Yang saat ini sudah hampir mencapai pintu.

Tapi, begitu dia berlari menuruni anak tangga. Kaki kecilnya salah melangkah, membuat tubuhnya langsung terguling sampai ke bawah.

Darah sudah mengucur dari atas kepalanya, namun tidak membuat langkah Nicole terhenti.

"Mamih---" Hati Rafa hancur, melihat sang ibu yang sama sekali tidak peduli padanya.

Tangannya mengulur jauh ke depan, seolah berharap akan mendapatkan sambutan. Namun, semua sia-sia.

Rafa bisa mendengar suara mesin mobil milik Nicole.

Air matanya, kini bercampur dengan darah yang masih saja keluar.

..........

The Sweetest RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang