6. Harapan Terakhir

16 3 2
                                    

Aku tidak meminta hidup tak sempurna
Aku pun ingin sama seperti mereka
Bahagia dan tertawa
Tanpa ada yang berbeda

_Goresan Hati_

🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣

Rintik air hujan, memaksa Kimberly untuk menarik kesadarannya.

Dia mengernyit--menahan sakit di sekujur tubuhnya. Jari-jarinya yang lentik, memijit kulit kepalanya.

Namun, rasa lengket yang dirasakan tangannya. Membuat dia mengakat tanggannya ke arah cahaya, tak jauh dari tempatnya terbaring.

"Darah," bisik Kimberly. Tangannya bergetar begitu kenyataan tadi siang kembali berkelebat dalam ingatannya.

Hatinya hancur, dan tubuhnya pun sakit. Meski pun dulu Richard selalu mengacuhkannya, tapi dia tidak pernah di pukuli.

Hanya pelecehan secara verbal saja yang dia terima. Tak ada sedikit pun pelecahan fisik yang di terimanya. Namun, siang tadi berbeda. Mungkin, karena sudah tidak ada lagi ikatan di antara mereka.

"Ibu!" Seru Kimberly.

Dia bergegas bagun, hanya untuk menerima keadaan. Jika tubuhnya tidak bisa diajak berkompromi.

Kimberly menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba menepis rasa pusing yang datang menerpanya.

Usahanya tidak sia-sia. Meskipun masih merasa mual, Kimberly mencoba untuk meninggalkan gerobaknya. Lalu, mencari ibunya di dalam gerobak yang satunya lagi.

Benar saja, ibunya masih belum sadarkan diri.

Air mata Kimberly menetes, bercampur dengan rinai hujan. Membasuh semua memar di wajahnya.

Dengan tenaga yang tersisa, Kimberly mendorong gerobak ibunya. Langkah  yang diambilnya begitu pelan dan  tertatih, karena kakinya pun tak luput dari pemukulan itu.

Mata Kimberly terasa kabur. Hingga dia berulang kali menepis hujan dan air mata yang menghalangi pandangannya.

Tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang, Kimberly melihat pos ronda. Dia bersorak dalam hatinya.

"Akhirnya, ibu tidak harus terus kehujanan," ucap Kimberly lirih.

Dia mencoba mempercepat langkahnya, berharap untuk segera berteduh dari hujan.

Namun, seberapa cepat pun langkahnya. Dia tidak bisa lebih cepat dari hujan yang datang semakin deras.

Kimberly terpaksa harus melihat tubuh ibunya yang belum sadarkan diri, kini mulai terendam dinginya air hujan.

Hatinya mengutuk Tuhan, karena ketiadak adilan yang dia rasa selalu datang silih berganti.

Selama ini, ibunya selalu menjadi istri yang berbakti, ibu yang baik. Namun apa yang dia dapatkan sebagai balasan.

Saat ini, Kimberly membenci takdir yang tidak pernah bersahabat dengannya.

Dia membenci Richard, sampai tulang-tulangnya berteriak dengan menyuarakan pembalasan.

"Uh ...." Leguhan Anita menyadarkan Kimberly. Dia langsung menunduk dan memegang tubuh ibunya.

"Ibu sudah sadar?" tanya Kimberly dengan terburu-buru.

Anita menatap wajah anaknya. Namun, melihat wajah itu kini berhiaskan memar yang mulai berubah ungu. Hatinya menjerit sakit.
Dia lupa dengan rasa sakit yang di deritanya, hanya ada kebencian yang tersisa di dalam hatinya.

Anita memeluk tubuh Kimberly. Air mata keduanya bercampur dengan hujan malam itu, seolah menumpahkan semua sesak dan serapah.

"Kita lebih baik sampai ke pos sana." Kimberly memotong pelukan ibunya.
Dia mencoba untuk kembali mendorong gerobak agar kembali berguling di atas jalanan.

Anita menatap pos ronda di depannya, dia ingin menghentikan Kimberly untuk mendorong gerobak tersebut.

"Tidak, ibu diam saja." Kimberly menolak dengan tegas.

Dengan langkah yang tertatih, Kimberly kembali mendorong dengan segenap sisa tenaganya.

Anita pun tidak lagi mencoba menghentikan Kimberly. Dia hanya menatap wajah tirus di hadapannya.

Tit ....

Sebuah klakson terdengar membelah hujan, membuat Kimberly kembali menghentikan langkahnya.

Namun dia berdiri di tempat yang salah, karena begitu mobil tersebut melewati mereka. Cipratan air dari lubang di dekatnya, sontak menyembur dan membasahi wajah Kimberly dan ibunya.

"HEY!" teriak Kimberly. "Berhenti."

Namun teriakan Kimberly hanya sia-sia. Karena mobil tersebut terus melaju, membelah jalanan malam.

"Sudahlah." Anita menghapus kotoran yang menempel di wajah Kimberly.

"Wajah, ibu. Juga kotor." Kimberly pun melakukan hal yang sama. Dengan ujung bajunya, dia menghapus kotoran yang mengenai wajah Anita.

"Sudah, kita harus jalan lagi," usul Kimberly.

Anita hanya mengangguk. Dia hanya diam dan mengutuk kehidupannya. Tapi siapa yang harus dia salahkan? Karena yang salah adalah dia sejak awal.

Demi cintanya, dia meninggalkan keluarganya. Masa depan yang dia perjuangkan dengan keras, namun harus terenggut ketika sudah berbuah manis.

Mungkin, inilah perasaan orang tuanya dulu. Mereka membesarkannya, namun karena cintanya yang bodoh. Dia menepis semua ikatan itu, demi cinta yang baru ditemuinya.

"Ayo, Bu. Cepat turun!" Kimberly membuyarkan lamunan Anita. "Hati-hati."

"Terima kasih," ucap Anita hangat.

Kimberly tersenyum, meakipun dia harus membayar dengan sedikit rasa sakit akibat bibirnya yang pecah. Itu semua sepadan, asalkan ibunya tidak lagi merasa cemas.

"Ini, Ibu. Keringkan dulu badannya." Kimberly menyodorkan handuk tipis kepada ibunya.

Anita mengambil handuk tersebut, tapi bukan rambut dan tubuhnya yang dia keringkan. Namun, rambut dan tubuh Kimberly lah yang dia rawat.

"Bu---"

"Sudah. Biar, ibu yang mengeringkannya." Anita menolak keberatan Kimberly.

Dengan telaten, dia membersihkan air hujan di tubuh Kimberly. Setelah selesai, baru dia mengeringkan rambut dan tubuhnya sendiri.

"Bagai mana keadaan, Ibu?" tanya Kimberly.

"Ibu baik-baik saja. Tadi siang, ibu pingsan karena menahan amarah. Sudah, jangan dibahas lagi. Ini sudah malam, lebih baik sekarang kita tidur," jawab Anita. Dia merebahkan tubuhnya, sebagai kode untuk Kimberly agar segera beristirahat.

Kimberly tidak banyak bertanya, dia lalu mengikuti sang ibu untuk merebahkan tubuhnya.

"Ah ...." erang Kimberly. Meski tanpa alas apa pun, Kimberly merasa puas karena bisa meluruskan punggungnya.

Tak bisa dia pungkiri, saat ini sekujur tubuhnya terasa kaku dan mati rasa.

Akhirnya, kedua wanita beda generasi tersebut mulai mengistirahatkan tubuh mereka. Tidak butuh waktu lama, untuk keduanya terbuai dalam malam panjang.

Tanpa alas dan selimut, keduanya mereguk dinginnya malam tanpa banyak mengeluh.

Biarlah saat ini mereka memejamkan mata, menunda semua problematika. Dan biarlah besok datang seperti biasa, mereka tak takut untuk kembali melawan semesta.

********************

Maaf kalau pendek.
Semoga suka.

Jangan lupa vote ea😚.

Sampai jumpa besok🤗

The Sweetest RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang